Rapat Koordinasi POKJA AMPL

Rapat Koordinasi POKJA AMPL
Situasi Rapat Koordinasi POKJA AMPL di Sikka

Selasa, 23 November 2010

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AMPL

Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) merupakan dasar dari seluruh orientasi pembangunan AMPL ke depan. kebijakan ini disepakati dalam konteks kerja sama stakeholder terkait pembangunan AMPL, di anataranya adalah Bappenas, Kementrian Pemukinman dan Prasarana Wilayah, Kementrian Kesehatan, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan pada tahun 2003. Kebijakan ini searah dengan tujuan utama pembangunan AMPL yakni meningkatkan pembangunan, penyediaan, pemeliharaan dan meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. kebijakan bersama ini dibangun untuk mencapai tujuan utama pembangunan AMPL ini.
kebijakan-kebijakan AMPL itu adalah sebagai berikut:
1. Air merupakan benda sosial dan benda ekonomi. selain sebagai benda sosial (public good), yang bisa diperoleh secara cuma-cuma air juga merupakan benda ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan perkapita sebuah rumah tangga. kampanye perlu dilakukan bahwa air itu merupakan benda langka yang mempunyai nilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya, baik berupa uang maupun waktu.
2. Pilihan yang diinformasikan sebagai dasar dalam pendekatan tanggap Kebutuhan
3. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
4. Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
5. Keberpihakan kepada masyarakat Miskin
6. Peran Perempuan dalam pengambilan Keputusan
7. Akuntabilitas proses pembangunan
8. Peran pemerintah sebagai fasilitator
9. Peran Aktif masyarakat
10.Pelayanan Optimal dan tepat sasaran
11.Penerapan prinsip pemulihan biaya

Minggu, 07 November 2010

Rapat Koordinasi POKJA AMPL

oleh Max Adifan

Rapat koordinasi POKJA AMPL tanggal 6 November 2010 dipimpin oleh Sekretaris BPPPMD Kabupaten Sikkka bapak Drs. Yoseph Dade. Rapat ini dihadiri oleh BPPPMD Kabupaten Sikka, Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, BPM Kabupaten Sikka, Dinas PU Kabupaten Sikka, Pamsimas, Plan, YDD, Unicef -Kupang dan Camat Kangae.
Agenda:
* Sharing Proses Rakorda AMPL Propinsi Nusa Tenggara Timur oleh Bpk. Drs. Yoseph Dade dan Bpk. Matheus Karyono
* Up Date Kemajuan Pembangunan SAB di Desa Egon Gahar
* Diskusi seputar lokasi sasaran program tahun 2011 PAMSIMAS Kabupaten Sikka

ada beberapa kesimpulan yang dihasilkan peserta rapat, di antaranya adalah:
1. Kehadiran POKJA AMPL merupakan tanggung jawab bersama pelaku dan Jejaring POKJA AMPL
2. Perlu ada rasa memiliki terhadap POKJA AMPL
3. Semua program air minum dan sanitasi yang masuk ke Kabupaten Sikka harus melalui wadah POKJA AMPL
4. Terjadi tumpang tindih proses intervensi beberapa desa oleh pelaku dan Jejaring AMPL
5. Program tidak terkolaborasi dengan baik
6. Perlu pemetaan wilayah intervebsi / dampingan
7. Bappeda melalui Kabid SOSBUD harus mengalokasikan dana pendamping yang dianggarkan melalui DPA
8. Pertemuan POKJA harus menjadi ajang pertemuan ide dan usul saran tentang pengelolaan air minum dan sanitasi
9. perlu pelatihan penyusunan database AMPL
10. Pembangunan SAB di Egon Gahar masih harus dilanjutkan. Koordinasi teknisnya perlu dilakukan secara tersendiri oleh beberapa pihak terkait

Kesepakatan yang dihasilkan oleh Rapat POKJA AMPL adalah sebagai berikut:
a. Semua program air minum dan sanitasi yang masuk ke Kabupaten Sikka harus melalui wadah POKJA AMPL
b. POKJA AMPL harus menjadi dapur data AMPL yang dapat diakses oleh semua pelaku dan Jejaring
c. Pelaku dan Jejaring harus mengakses Data base AMPL sebelum menetapkan lolasi sasaran pembangunan setiap tahun
d. POKJA AMPL harus membuat surat kepada Bupati SIkka untuk menyampaikan data riil pembangunan SAB di calon lokasi sasaran PAMSIMAS tahun 2011
e. Bulan Desember akan dilakukan rapat untuk mengupdate database AMPL Kab. Sikka
f. Dana rapat bulan Desember akan ditanggung oleh Yayasan Dian Desa

rapat sudah berjalan. yang dibutuhkan adalah tidak lanjut. semoga POKJA AMPL Kab. Sikka tetap menjadi wadah sinergitas program yang kokoh dan berkelanjutan.
mari bersama membangun nian tana SIKKA

Selasa, 02 November 2010

MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT MELALUI BPSABS

Aspek pemeliharaan dan perawatan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi merupakan orientasi dasar dari sebuah program pemberdayaan yang sedang gencar digalakan di Kabupaten Sikka. Seiring sejalan dengan program "membangun mulai dari desa" yang sedang digalakan oleh Bupati dan wakil Bupati Sikka periode 2008-2013, program pemberdayaan yang melibatkan mitra kerja pemerintah seperti Non Goverment organization (NGO) /Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah dan akan terus berjuang menemui titik terang.
Dalam kunjungan kerja fasilitator POKJA AMPL Kab. Sikka ke Desa Kowi- Kecamatan Mego pada hari Sabtu, 30 Oktober yang lalu, saya berjumpa dengan beberapa warga, termasuk kepala Desa Kowi. perjumpaan ini melahirkan suatu niat untuk menjadikan Desa Kowi sebagai salah satu calon Desa ODF di Kabupaten Sikka. Niat ini lahir dari ketulusan masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam upaya merawat dan memelihara keberlangsungan sarana air minum yang mereka miliki. Hal ini terwujud melalui keterlibatan aktif masyarakat Desa Kowi untuk mendukung keberadaan Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi (BPSABS) melalui pembayaran iuran bulanan. "Iuran bulanan sudah lancar pa, kami membayar Rp. 3.000 per bulan." itulah pengakuan dari ibu Maria salah satu warga dusun .... yang diamini oleh bapak Yanto yang berdiri di sampingnya. warga Dusun ... dalam rancangan awal pembangunan SAB Desa Kowi ini tidak dilayani. hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran yang disiapkan oleh Unicef. Namun atas kerja sama pemerintah desa dan masyarakat, tim teknis yang telah dilatih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka dalam kerja sama dengan Unicef NTT berjuang untuk membangun jaringan perpipaan ke sepuluh rumah yang masih belum terlayani air minum. Inilah suatu nilai tambah dari proses pemberdayaan.
"Proses pembangunan sudah selesai. Salah satu hal yang membutuhkan perhatian dan kerja sama dari masyarakat adalah proses pemeliharaan dan perawatan sarana. ini demi kepentingan kami sendiri. selama ini kami telah berjuang maksimal untuk menjalankan tanggung jawab pemeliharaan sarana ini. kami tidak mau jaringan air ini rusak. Badan Pengelola Sarana Air Bersih dan Sanitasi Desa Kowi sudah mulai bekerja optimal. tim teknis sudah menjalankan tugasnya untuk memperbaiki pipa yang bocor, melayani permintaan untuk menambah jumlah sambungan rumah, dll. sedangkan bagian bendahara juga sudah mulai menerima uang iuran pemakai air minum selama tiga bulan terakhir." itulah pengakuan dari Bpk. Yan, Kepala Desa Kowi yang masih berusia 26 tahun itu.
kepala Desa yang masih mudah dan energik ini berusaha untuk menanggapi setiap program yang dicanangkan pemerintah Kabupaten SIkka dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Bpk. Matheus yang diwawancarai di rumahnya juga menegaskan perihal keberlanjutan dari proses pemeliharaan dan perawatan SAB di Desa Kowi ini. menurut dia, Unicef sudah mengeluarkan anggaran besar untuk membangunan SAB dengan sistem sambungan rumah ini. "Tidak ada desa lain yang menggunakan sistem sambungan rumah seperti ini, kecuali PDAM di Kota Maumere. Jadi sebenarnya kami di Kowi ini sangat bangga dengan SAB yang kami miliki ini. Kami akan berjuang untuk mempertahankan dan memeliharannya."
perjuangan untuk memelihara dan menjaga SAB ini terbukti dari keberlanjutan proses pengolahan air minum Desa Kowi melalui badan pengelola sarana Air Bersih dan Sanitasi. partisipasi masyarakat inilah yang menjadi landasan pijak bagi keberhasilan sebuah program pembangunan. bila partisipasi masyarakat ini menjadi keputusan masyarakat desa Kowi dalam proses pembangunan Desa selanjutnya, maka bukan tidak mungkin calon Desa ODF di Kabupaten Sikka jatuh pada Desa Kowi. ini harapan terbesar dari masyarakat desa Kowi yang terungkap melalui kepala Desanya.

Senin, 18 Oktober 2010

PEMBANGUNAN SAB DESA EGON GAHAR DILANJUTKAN LAGI

Proses pembangunan saran air bersih di Desa Egon Gahar Kecamatan Mapitara Kabupaten Sikka dilanjutkan lagi. Semangat masyarakat Egon Gahar kembali terpicu untuk melanjutkan pembangunan SAB ini setelah pemerintah Desa dan Tokoh masyarakat Egon Gahar melakukan rapat koordinasi tingkat Desa untuk membahas keberlanjutan dari proses pembangunan SAB Sambungan Rumah yang sempat terhenti selama 7 bulan, sejak bulan Maret 2010 yang lalu.
Hasil pantauan fasilitator AMPL Sikka yang melakukan monitoring di Desa Egon Gahar,Senin 18 Oktober 2010 kemarin, nampak dua bak reservoir yang terletak di tengah kampung Gedot dan Kampung Lere mengalami perubahan. Bak Reservoir I sudah mengalami penambahan pembangunan di sisi barat tembok bak air. Sedangkan bak Reservoir II yang awalnya hanya berupa fundasi, sudah dibangun tembok di ketiga sisinya. nampak ada komitmen dari warga terkait proses penyelesaian pembangunan SAB ini. Bapak Urbanus Redong, Sekretaris Desa Egon Gahar yang dijumpai di Kantornya kemarin menjelaskan perihal kelanjutan proses pembangunan SAB ini. Menurut Bapak Urbanus, kelanjutan proses pembangunan SAB ini dimulai dua minggu yang lalu setelah sebelumnya diadakan rapat koordinasi di tingkat desa. "keputusan rapat melahirkan komitmen bersama untuk melanjutkan proses pembangunan ini hingga bulan Desember tahun 2010." Demikian bapak Urbanus menjelaskan.
Ketika ditanya perihal kendala yang dihadapi dalam proses pengerjaan SAB, bapak urbanus menegaskan perihal kendala pada partisipasi baik masyarakat maupun tenaga teknis. masyarakat tidak aktif untuk bergotong royong. di samping itu tenaga teknis yang ada masih kurang memahami pekerjaannya. ada sepuluh orang tenaga teknis namun yang bekerja hanya satu atau dua orang saja."
Hasil pantauan fasilitator di lokasi Bak Reservoir II, banyak material yang bertumpuk di sekitar lokasi bak, seperti di jalan raya ada batu bata dan di samping bak reservoir yang dibangun itu ada tumpukan pipa dan besi beton. selain itu, material berupa pipa dan keran-keran air masih bertumpuk di samping barat Kantor Desa Egon Gahar dan di dalam gudang.
Kepala Desa Egon Gahar, Yulius yang ditemui di rumahnya membenarkan prihal keberlanjutan dari proses pembangunan SAB ini. Menurut bapak yang baru satu tahun menjabat sebagai kepala Desa Egon ini, sebenarnya proses pembangunan ini berjalan dengan baik jika pasrtisipasi masyarakat dan koodinasi dari panitia itu berjalan dengan baik. pada dasarnya, semangat baru yang muncul ini adalah semangat dari pihak pemerintah desa dan tokoh masyarakat. "kami tidak terlalu peduli lagi dengan panitia. kami mau pembangunan SAB ini selesai tahun ini. kami malu juga dengan mandeknya kegiatan ini. semua tukang memang tidak selalu hadir. tetapi selalu ada satu atau dua orang tukang yang bersedian membantu kami ketika kami bergotong royong setiap hari kerja. hari kerja untuk membangun SAB ini dilaksanakan setiap hari senin dan Kamis.
progam pembangunan SAB Desa Egon Gahar ini sebenarnya terlaksana atas kerja sama Masyarakat Egon Gahar -Pemda Kab. SIkka dan Unicef sebagai donatur. dalam proses pembangunan ini, penekanan utama terletak pada partisipasi masyarakat. hal ini berkaitan dengan sistem pemberdayaan yang sedang gencar dijadikan kebijakan dalam pembangunan SAB di Desa-Desa yang berlaku secara nasional. inilah kebijakan utama pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) yang berkembang sekarang. program ini sudah dimulai sejak tahun 2008 yang lalu. namun karena prosesnya melibatkan banyak pihak dalam mendorong partisipasi, maka ketika satu pihak tidak aktif maka program itupun tidak berjalan dengan baik.
pihak Bappeda Kabupaten Sikka sebagai mitra kerja Unicef di tingkat Kabupaten Sikka menjelaskan bahwa dana untuk pembangunan SAB itu sudah dikucurkan. material yang merupakan bagian yang menjadi tanggung jawab Unicef sudah di antar ke Desa Egon Gahar. jadi tidak ada lagi kekurangan yang menjadi tanggung jawab donatur. yang kurang hanyalah partisipasi masyarakat dalam bekerja.
ya, mungkin inilah resiko dari mimpi untuk memberdayakan masyarakat setelah pemerintah menidurkan masyarakat dengan proyek-proyek yang masuk ke desa-desa. program pemberdayaan memang baik. namun butuh proses untuk menuju sukses.

185 ANAK SDK GELITING MENCUCI TANGAN PAKAI SABUN

oleh Max Adifan

Sebanyak 185 anak kelas II-VI Sekolah Dasar Katolik (SDK) Geliting –Kelurahan Geliting Kecamatan Kewapante secara bergilir mempraktekan cara mencuci tangan pakai sabun secara benar di halaman sekolah mereka pada tanggal 15 Oktober 2010. Di dampingi oleh guru-guru dan tim Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Puskesmas Waipare, PLAN unit Sikka dan Yayasan Dian Desa, wajah anak-anak ini tampak berseri-seri sambil menunggu giliran untuk mencuci tangan. Kegiatan ini terlaksana berkat kerja sama Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka dengan pelaku dan Jejaring AMPL Kabupaten Sikka dalam rangka memperingati hari Cuci tangan Pakai Sabun Sedunia tahun 2010.
Pada saat ini hadir pula Sekretaris Kecamatan Kewapante, Bapak Drs. Yohanis Jalo untuk membuka kegiatan CTPS lingkup Kecamatan Kewapante sekaligus memberi contoh kepada anak-anak bagaimana cara mencuci tangan yang tepat dan benar. Dalam arahannya, Bapak Yohanis menegaskan perihal upaya menjamin kesehatan anak melalu perilaku hidup bersih dan sehat. "salah satu upaya menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun secara benar. Kita memang pernah mencuci tangan, namun mungkin cara mencucinya belum benar. Pada saat ini kita akan melihat dan mempraktekan secara bersama bagaimana sebenarnya cara mencuci tangan yang benar itu sendiri.” Demikian ia menegaskan.
Mewakili Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka / Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka Bapak Iskak Latiantoro, Kabid P2M-PL pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka juga menyampaikan penyuluhan singkat. Dalam penjelasannya, pa Iskak menegaskan lagi perihal pentingnya cuci tangan pakai sabun secara benar. Menurutnya, Cuci tangan pakai sabun secara benar dapat mengurangi atau mencegah resiko penyakit terutama diare dan ISPA. “Kalau selama ini kita mencuci tangan hanya dengan air, mari kita mulai membiasakan mencuci tangan dengan air pakai sabun. Kalau kita biasa mencuci tangan dengan air dan sabun apa saja, mari sekarang kita membiasakan diri dengan mencuci tangan pakai air dan sabun cair. Kalau selama ini, cuci tangan hanya sebagai bahan kampanye saja, mungkin sekarang kita mencoba untuk mulai menjadikan kegiatan mencuci tangan sebagai kebiasaan. Hendaknya kita mencuci tangan bukan karena praktek ini, tetapi dilakukan karena kebiasan dalam hidup.”
Penyuluhan singkat ini dilanjutkan dengan praktek singkat delapan tahap CTPS secara benar. Sekretaris Kecamatan Kewapante dan Kabid P2M-PL pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka yang diikuti oleh guru-guru dan anak Sekolah secara bergilir mulai mencuci tangan pakai sabun.
Dari hasil pantauan penulis, tampak bahwa anak-anak ini tidak mengalami kesulitan ketika harus mencuci tangan pakai sabun dihadapan tim STBM yang hadir. “kami sudah biasa mencuci tangan setelah bermain baik di sekolah maupun di rumah. Kalau di sekolah, ibu guru selalu menyuruh kami untuk cuci tangan sebelum masuk ke kelas. Di rumah mama selalu suruh cuci tangan sebelum makan” demikian penjelasan dari Berlin, murid kelas IV SDK Geliting yang diwawancarai penulis setelah praktek cuci tangan di halaman sekolahnya.
Kegiatan mencuci tangan sebelum masuk kelas rupanya sudah menjadi kebiasaan murid SDK Geliting. Di setiap kelas telah disiapkan wadah untuk cuci tangan bagi anak-anak sekolah setelah mereka bermain bersama teman-temannya. Ibu Edita selaku Kepala Sekolah SDK Geliting membenarkan hal ini. “Kami sudah menanamkan kebiasaan mencuci tangan di sekolah ini sejak tahun 2006. Inisiatip ini saya tanamkan sejak saya menjadi Kepala Sekolah di sini. Sebelum saya berpindah ke sini kami sudag dilatih oleh NTT-PEP mengenai kebiasaan mencuci tangan pakai sabun.” Demikian penjelasan dari perempuan yang sudah hampir memasuki masa pensiun ini.
Banyak manfaat yang diambil dari upaya menanamkan kebiasaan mencuci tangan ini. Kebiasaan cuci tangan ini sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan anak-anak. Hal ini sangat berkaitan dengan visi sekolah SDK Geliting yang ingin “menjadikan anak-anak sehat”. Menurut ibu Edita, visi “menjadikan anak-anak sehat” ini akan tercapai melalui pemeliharaan dan perawatan kesehatan pribadi dan lingkungan.
SDK Geliting adalah salah satu sekolah yang ditetapkan untuk menjadi fokus kegiatan Hari CTPS lingkup Kecamatan Kewapante. Kegiatan untuk memeriahkan hari cuci tangan pakai sabun tahun 2010 ini sebenarnya dilaksanakan secara serempak di setiap Kecamatan di seluruh Kabupaten Sikka pada hari ini, dengan titik fokus pada salah satu sekolah di setiap kecamatan. STBM Kabupaten dan Kecamatan serta LSM/NGO pendamping menjadi motivator kegiatan di setiap Kecamatan.
Ibu Fitri Haryati, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, yang ditemui sehari setelah kegiatan ini, menjelaskan bahwa Kegiatan CTPS pada tanggal 15 Oktober tahun 2010 hanya bisa dilaksanakan di 18 Kecamatan. "Target awalnya adalah 21 sekolah di 21 Kecamatan di Kabupaten Sikka harus serempak mencuci tangan pakai sabun. Namun tiga kecamatan tidak terpantau karena jarak dan keterbatasan anggota tim, yakni Kecamatan Palue, Kecamatan Mapitara dan Kecamatan Waiblama."


Mai ita mogat hama-hama! rasi liman nora sabang

Rabu, 13 Oktober 2010

INFO CTPS 2010 di SIKKA

Salam Jumpa. Dari Sikka kami informasikan bahwa untuk kegiatan HCTPS yang peringatannya jatuh pada tanggal 15 Oktober besok, Dinkes Kab, Sikka yang menjadi kordinator kegiatan telah mempersiapkan rancangan kegiatannya. Persiapan ini ditandai dengan adanya rapat pembentukan panitia pada tanggal 30 September 2010 yang menghadirkan utusan dari Jejaring AMPL Kabupaten Sikka, di antaranya adalah Yayasan Dian Desa, PLAN SIkka, WVI, ChildFund, Pamsimas.
Rapat perdana ini memutuskan:
• Kegiatan HCTPS di Kabupaten SIkka akan dilaksanakan di semua Kecamatan di Kabupaten Sikka dengan titik kosentrasi pada salah satu Sekolah Dasar di Setiap Kecamatan.
• Penggerak kegiatan adalah pihak PUSKESMAS di setiap Kecamatan dan Jejaring AMPL yang mendampingi wilayah yang bersangkutan. Setelah dirincikan maka hasilnya adalah: YDD mendampingi 5 Kecamatan, yakni Palue, Alok (Puskesmas Teluk), Kangae, Magepanda dan Alok Barat. PLAN mendampingi 8 Kecamatan yakni: Mego, Paga, Tanawawo, Waiblama, Lekebai, Talibura (Puskesmas Watubaing dan Boganatar), Kewapante dan Hewokloang. ChildFund mendampingi Kecamatan Waigete. WVI mendampingi Kecamatan Doreng, Nita dan Lela. Sedangkan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka mendampingi Alok (Puskesmas Kopeta), Alok Timur (Puskesmas Beru), Nele, Koting dan Mapitara.
• Pamsimas akan mendampingi 15 Desa dampingannya sendiri. Mereka memilih sekolah-sekoalah yang berada dalam desa tersebut.
• Perlu diadakan spanduk yang dibuat secara seragam untuk dibentangkan di setiap sekolah sasar dan kantor pelaku dan pendamping.
• Perlu disusun SK Panitia HCTPS 2010.
Sebagai bukti keseriusan untuk memperlancar kegiatan ini, pada tanggal 12 OKtober 2010 diadakan rapat lanjutan bersama dengan kepala Puskesmas dan sanitarian Puskesmas dari seluruh Kabupaten SIkka di Aula Rapat Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten SIkka. Inilah rapat koordinasi antar pelaku dan jejaring AMPL Kabupaten Sikka bersama Pihak Puskesmas yang menyebar di Kecamatan-kecamatan se Kabupaten Sikka.
dengan demikian seluruh kecamatan di Kabupaten Sikka akan melaksanakan kegiatan CTPS secara serempak yang difokuskan pada salah satu sekolah.
Pendanaan terhadap kegiatan ini ditanggung oleh Jejaring AMPL pendamping puskesmas dan Dinas Kesehatan Sendiri. Jadi Kegiatan ini tanpa anggaran khusus. Pendamping dan Dinas Kesehatan hanya menyiapkan sarana dan spanduk.
Inilah info singkat dari sikka. Semoga sukses walau walau hanya bermodalkan nekat.
Mai ita mogat hama-hama! Rasi liman nora sabang.

Senin, 04 Oktober 2010

RAPAT TERBATAS ANGGOTA POKJA AMPL KABUPATEN SIKKA

Selasa, 27 Juli 2010

Rapat terbatas POKJA AMPL Kabupaten Sikka untuk bulan ini dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2010 bertempat di Aula BPPPMD Kabupaten SIkka. Rapat ini mengagendakan pembahasan lanjutan Renstra AMPL Kabupaten Sikka yang terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: konfirmasi data seputar sistem pengawasan dalam bidang air minum dan sanitasi sebagaimana yang sudah dijalankan selama ini dan mendiskusikan analisis SWOT yang dipadukan dengan Renstra POKJA AMPL yang sementara disusun.
Analsis SWOT yang pernah dibuat oleh tim POKJA AMPL Kabupaten SIkka pada bulan oktober 2009 yang lalu direview untuk melihat lebih jauh perihal sanitasi di samping maslah seputar air minum. analisis ini didasarkan pada empat aspek penting dari proses analisis lingkungan sosial seputar AMPL yakni: Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (Peluang) dan threat (ancaman). kekuatan yang dijadikan pijakan analisis dari perencanaan pembangunan AMPL di Kabupaten SIkka selama ini adalah peningkatan peran serta masyarakat dan penguatan kelembagaan dalam pengelolaan AMPL yang transparan dan berkelanjutan, adanya perlindungan /pelestarian sumber mata air dan konservasi air tanah, adanya pendidikan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat, penyediaan air bersih yang mendukung sanitasi dan peningkatan pelayanan air bersih menjadi air minum. selain kekuatan yang dimiliki, ada pula kelemahan yang senantiasa terjadi dalam proses pembangunan AMPL. kelemahan itu di antaranya adalah pendekatan pembangunan sarana/prasarana AMPL yang berorientasi proyek, terbatasnya alokasi dana untuk program pembangunan AMPL, belum adanya legalitas hukum yang mendukung program AMPL, kurangnya koordinasi antara institusi dalam pembangunan sarana/prasarana AMPL dan Data AMPL yang belum lengkap. di samping kekuatan dan kelemahan, ada juga peluang dan ancaman yang bakal dihadapi dalam proses pembangunan AMPL ke depan. menurut tim perumus Renstra AMPL Kabupaten Sikka, point yang termasuk kategori peluang adalah penggunaan teknologi tepat guna dlam pembangunan AMPL, perlu dukungan dana AMPL dari lembaga donor, adanya investasi usaha di bidang AMPL. sedangkan ancaman yang bakal dihadapi adalah terbatasnya sumber mata air, pengrusakan daerah tangkapan air/hutan, kurangnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup, kebiasaan buang air besar dan sampah di sembarang tempat.
ke empat aspek dasar dari proses analisis SWOT ini kemudian dikawinkan untuk melahirkan program strategis yang kemudian dicari program unggulannya untuk dijadikan prioritas dalam proses pembangunan AMPL di Kabupaten SIkka ke depan.

Rabu, 29 September 2010

RAPAT PERSIAPAN HARI CUCI TANGAN DI KABUPATEN SIKKA

Oleh Max Adifan

"CUCI TANGAN PAKE SABUN, PERILAKU SEDERHANA BERDAMPAK LUAR BIASA". Inilah tema Hari Cuci Tangan Pake Sabun Sedunia yang tahun 2010 ini diperingati pada tanggal 15 Oktober nanti.
"Hari Cuci Tangan Pake Sabun merupakan hari khusus dimana semua pelaku AMPL terlibat untuk melakukan sosialisasi sederhana mengenai prilaku hidup bersih dan sehat kepada masyarakat Kabupaten Sikka. Inilah salah satu moment advokasi STBM, khusus pilar kedua pada masyarakat terutama anak-anak usia sekolah dalam rangka perubahan prilaku menuju prilaku hidup bersih dan sehat." Demikianlah catatan awal dari Pa Iskak Latiantoro-Kabid P2-PL pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka ketika membuka rapat persiapan menyongsong hari Cuci Tangan Pake Sabun Sedunia (15 Oktober) di Ruang Rapat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Kamis 30 September 2010.
Rapat ini membicarakan perihal persiapan/model kerja sama dari pelaku dan Jejaring AMPL Kabupaten Sikka untuk memeriahkan hand washing day ini.
peserta yang hadir dalam rapat ini di antaranya adalah teman-teman dari Jejaring AMPL sepeti PLAN, Dian Desa, WVI, ChildFund, FK POKJA AMPL Kabupaten Sikka, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka.
semua peserta rapat bersepakat untuk menyuskseskan kegiatan ini tetapi harus dalam bentuk yang sesederhana mungkin karena ketiadaan dana. "Kalau berbicara tentang dana, Dinkes tidak memiliki anggaran untuk pelaksanaan kegiatan ini. namun kegiatan ini dituntut untuk dilaksanakan setiap tahun". inilah komentar dari pa Beni, selaku Kabid Promkes pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka. menghadapi persoalan dana ini, beberapa jejaring menawarkan agar kegiatan itu dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana lokal yang tidak memakan dana yang banyak. "kita hanya menyiapkan sabun saja. tetapi sarana lain seperti wadah untuk mengalirkan air bisa menggunakan bambu, bisa juga menggunakan jerigen yang dilubangkan pantatnya." demikian usulan dari pa Ansel dari Dian Desa.
hasil dari rapat ini adalah:
struktur panitia pelaksanaan hari CTPS ini terbentuk, dengan melibatkan puskesmas dan jejaring AMPL Kab. SIkka. Jejaring AMPL menjadi koordinator pelaksana lapangan bersama dengan Kepala Puskesmas di Wilayah Dampingan.
semoga acara ini sukses dan bisa menghasilkan dampak bagi perubahan prilaku masyarakat terutama anak usia sekolah.
CUCI TANGAN PAKAI SABUN, PERILAKU SEDERHANA BERDAMPAK LUAR BIASA
mai ita mogat hama-hama. rasi liman nora sabang...............

SEMOGA SUKSES

Selasa, 31 Agustus 2010

PELATIHAN FK DI CAMPLONG

Orientasi Fasilitator Kelembagaan (FK) Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk tahun 2010 dilaksanakan di Camplong pada tanggal 23-28 Agustus 2010 atas kerja sama POKJA AMPL Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang berlangsung lima hari ini telah menghadirkan FK dari tiga Propinsi di Indonesia Timur, yakni 8 FK dari Propinsi NTT, 4 FK dari Propinsi NTB dan 2 FK dari Propinsi Maluku. Ke delapan FK dari NTT terdiri dari 2 FK di pulau Flores yakni dari Kabupaten Ende dan Sikka, 1 FK dari pulau Sumba yakni dari Sumba Timur, 1 FK dari Rote Ndao, 1 FK dari Alor, dan 3 FK dari Pulau Timor yakni Kota Kupang, So'e dan Belu.
sementara itu, 4 FK dari NTB terdiri dari 1 FK dari Bima, 1 FK dari Lombok Barat, 1 FK dari Sumbawa dan 1 FK dari Mataram. sedangkan 2 FK dari Maluku terdiri dari Seram Bagian Barat 1 FK dan 1 FK dari Buru.
Kegiatan orientasi FK yang didukung sepenuhnya oleh Unicef ini juga menghadirkan dua fasilitor unggul sekalian pemateri dari WASPOLA (Water and Sanitation Policy Formulation and Action Planing Project)yakni pa Tomo dan Pa Nur, 2 orang dari CIS Timor.
Orientasi yang berlangsung selama satu minggu itu telah memperkaya fasilitator dengan berbagai materi, di antaranya Kebijakan Nasional tentang AMPL, Kebijakan daerah tentang AMPL, Etika Fasilitasi, Komunikasi, Korelasi antara Program Anggur Merah dan AMPL, Pengenalan Unicef, latihan memfasilitasi, dll.
Selain ceramah dan diskusi serta teknik latihan kelas lainya, hari Jumat tanggal 27 Agustus 2010 FK diberikan kesempatan untuk belajar dari masyarakat kecil di Desa Pili-Kecamatan Kie-Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di Desa Pili FK dihadapkan dengan realitas kesederhanaan masyarakat Desa yang setia menunggu kedatangan rombongan FK dari Camplong. Rombongan FK diterima secara adat timor oleh tetua adat Desa Pili sembari dikalungi selendang timor. seluruh anggota rombongan mendapat masing-masing satu selendang.
satu nilai positip yang dikibarkan oleh masyarakat Desa Pili adalah adanya rasa memiliki terhadap sarana air bersih yang sudah dibangun oleh ProAir sejak tahun 2007-2009 yang lalu. implikasi dari rasa memiliki ini, masyarakat pengguna air di Desa Pili membentuk organisasi Badan Pengelola Sarana Air Bersih Desa Pili yang sekarang asetnya sudah berjumlah Rp. 16.000.000 yang diperoleh dari iuran pengguna air dan bunga yang diperoleh dari Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang dibangun setelah BP SABnya bekerja secara bertanggung jawab.

Rabu, 28 Juli 2010

KETIKA AIR LAUT DIJADIKAN ALTERNATIF.........

cuplikan perjalanan monitoring SAB di Ngolo-Desa Gunung Sari

Oleh Max Adifan
Fasilitator Kelembagaan POKJA AMPL Kabupaten Sikka

Air dalam tanah telah lama menjadi pilihan sumber air guna mencukupi kebutuhan untuk mandi, mencuci pakaian dan masak bagi masyarakat Ngolo-Desa Gunung Sari Pulau Pemana, salah satu pulau yang berada di sebelah utara kota Maumere ibukota Kabupaten Sikka. Air permukaan tanah tidak dijumpai di sana. Setiap tamu yang datang ke Ngolo, mereka akan melihat pemandangan yang sama. Sumur menjamur di antara rumah-rumah penduduk. Masyarakat memanfaatka air sumur ini untuk mencukupi kebutuhan air sehari-hari. “Jangankan air untuk masak nasi dan sayur, air untuk minum saja kami harus ambil di sumur ini walau airnya terasa payau. Banyak air sumur yang tidak tawar lagi. Memang masih ada beberapa sumur yang airnya tawar, tapi kami harus menempuh perjalan kurang lebih 400 -600 meter dari rumah untuk mengangut air dari sumur itu. ” Demikian penjelasan dari Admini, seorang ibu diwawancarai penulis ketika sedang asyik mengobrol bersama temannya di rumah salah satu warga Kampung Ngolo pada hari Kamis, 15 Juli 2010. Potret kehidupan masyarakat kepulauan yang rindu untuk mendapatkan air minum yang layak untuk dikonsumsi.
Namun, kalau perbincangan beralih ke topik, alternatif pengolahan air minum skala rumah tangga (PAM-RT), masyarakat Ngolo mengenal aneka teknik yang bervariasi. Selain teknik memasak yang sudah lazim digunakan oleh masyarakat Desa pada umumnya, masyarakat Ngolo juga sudah mengenal sistem lain. “Kami sering minum air sodis kalau langit tidak mendung, karena sistem sodis membutuhkan sinar matahari untuk mematikan bakteri yang terkandung di dalam air itu.” Jelas Ibu Hawa, salah seorang staf tertua di Desa Gunung Sari. Ya, pengolahan air minum skala rumah tangga (PAM-RT) dengan teknik SODIS (Solar water disinfection) memang sudah lama diperkenalkan oleh Yayasan Dian Desa wilayah NTT, yang berkantor di Jl. Lamtoro-Maumere-Flores dalam rangkaian kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka.
Dian Desa sebagai salah satu Yayasan yang kosentrasi pelayanannya terarah ke aspek sanitasi, termasuk PAM RT, telah memperkenalkan alternatif pengolahan air minum ini kepada masyarakat Ngolo sejak Tahun 2007. Dari tahun 2007 hingga tahun 2010, Yayasan Dian Desa telah melakukan banyak hal di Ngolo, termasuk pembangunan Jamban Keluarga dan penerapan teknologi tepat guna penyulingan air laut menjadi air minum dengan memanfaatkan sinar matahari. “Dian Desa sudah memperkenalkan sistem sodis sejak tahun 2007 di Ngolo ini. Namun seiring berjalannya waktu alternatif lain juga ditemukan. Setelah mendapat dukungan dana dari SIMAVI-Belanda maka bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka kami mencoba memperkenalkan sistem penyulingan air laut menjadi air minum dengan menggunakan sinar matahari yang terkenal dengan nama Water Piramid,” jelas Pa Handoyo, salah seorang teknisi yang ditempatkan oleh Yayasan Dian untuk memantau perkembangan teknologi pengolahan air minum yang tergolong baru ini. Menurut Bapak yang setiap hari menghabiskan waktu untuk melayani masyarakat yang membeli air minum dengan harga Rp. 5000 per galon ini, pengolahan air minum dengan sistem water piramid ini merupakan yang pertama di Indonesia dan itu hanya berada di Desa Gunung Sari. Teknologi ini diperkenalkan oleh Mr. Martin, seorang teknisi yang berkebangsaan Belanda dan telah menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk pengadaan bahan. “Sebenarnya sistem ini telah memakan biaya yang besar. Angka pasti yang dikeluarkan untuk membiayai pembangunan sarana ini tidak kami ketahui. Namun diperkirakan bahwa uang yang dihabiskan mencapai 300-400 euro untuk dua piramid. Bahan yang paling mahal adalah terpal. Terpal ini berfungsi sebagai langit buatan yang menjadi untuk menahan uap air yang dipanaskan oleh sinar mataharai. Menurut pencetus teknologi ini, batas normal penggunaan terpal ini hanya sampai empat tahun. Setelah empat tahun, terpalnya harus diganti. Jadi, kami berjuang mengumpulkan dana selama empat tahun agar bisa mengganti terpal ini. Kami masih mencoba kualitasnya untuk kurun waktu empat tahun.” Demikian pa Handoyo menjelaskan. Lanjut pa Handoyo, “Air yang dihasilkan ini bisa langsung diminum. Ia tidak perlu dimasak lagi karen sistem pengolahan dengan teknik ini merupakan salah satu jenis teknologi PAM-RT. Sistem pengolahannya melewati beberapa tahap mulai dari pembuatan sumur air laut (untuk mengantisipasi kondisi pasang surut air laut). Kemudian air laut itu dimasukan ke dalam satu bak penampung yang berfungsi untuk menyaring kotorannya. Air laut yang sudah disaring itu kemudian dialirkan ke dalam wadah yang diselimuti terpal yang dipasang melingkar. Dalam wadah yang berbentuk kubah inilah air laut mengalami proses penguapan. Uapan air laut itu kemudian tertahan di langit-langit terpal, sampai uap itu berubah menjadi titik-titik embun. Jadi kita sebenarnya sedang menciptakan hujan buatan. Hujan juga kan terjadi melalui proses penguapan air laut?” Pa Handoyo menyisipkan pertanyaan retorisnya di antara rentetan penjelasannya yang panjang sambil berjalan mengelilingi wadah penyulingan yang berbentuk kubah ini. Masih menurut Pa handoyo, sistem ini memang sudah dikenal dengan nama water pyramid, walau bentuk wadahnya tidak menyerupai pyramid. “Kami memang pernah mencoba untuk membuat wadah berbentuk pyramid, namun air yang dihasilkannya tidak banyak. Kami memutuskan untuk merubah bentuk wadahnya dengan bentuk bulat seperti ini. Setelah bentuknya dirubah ke model seperti ini maka dua wadah ini bisa menghasilkan 800 liter air minum per hari. Kami tidak tau, sebenarnya ini bentuk apa. Tapi karena sudah terkenal dengan nama water pyramid, maka istilah itu digunakan terus untuk menamakan teknik ini, walau wadahnya tidak berbentuk piramid lagi,” Pa Handoyo menjelaskan dengan penuh keyakinan.
Air yang dihasilkan tidak langsung diminum. Air ini dialirkan ke tank penyimpan air hasil destilasi. Dari tank ini air dilalirkan lagi ke tank air berikut untuk memasuki tahap mineralisasi. Tank ini menampung air mineral sebelum dialirkan ke kran yang dipasang di dalam rumah. “Namun kami belum terlalu yakin dengan kualitas air ini, sehingga sebelum air ini diambil untuk dijadikan air minum melalui kran, air ini disteril lagi dengan menggunakan sinar ultra violet (UV) untuk mengantisipasi bakteri yang masih tersisa.” Demikian Pa Handoyo mengakiri penjelasan panjangnya sambil mengisi air mineral ini ke dalam botol aqua sebagai buah tangan dari Ngolo untuk Fasilitator AMPL Kabupaten Sikka.
Menghadapi banyaknya alternatif pengolahan air minum ini, masyarakat Ngolo merasa bahwa hal ini kenyataan ini sangat bergantung dari respon masyarakat terhadap setiap program yang ditawarkan. “Kepala Desa dan masyarakat di sini sangat antusias menerima setiap program yang ditawarkan. Kalau sekarang ini, alternatif pengelolaan air minum sudah banyak. Memang masih banyak masyarakat yang menggunakan sistem memasak untuk mendapatkan air minum, ada juga yang menggunakan teknik sodis. Tapi ada juga juga salah satu cara yang tidak membuat kita pusing. Kita hanya menyiapkan uang Rp. 5000 dan kita bisa membeli air galon di Piramid. Itu pun kalau kita ada uang.” Jelas Balvas Mula, salah satu tokoh masyarakat Ngolo ketika ditemui di depan rumahnya.
Banyak kekayaaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Sumber daya manusialah yang dibutuhkan agar kekayaan itu bisa diolah menjadi aset yang sanggup memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Ketika akses kepada air minum bersih masih terbatas, aneka cara dapat dilakukan untuk menjangkaunya. Walau masyarakat kepulauan merasa sulit untuk mendapatkan air yang layak untuk dikonsumsi, namun banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk mendapatkanya. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk menciptakan hujan buatan demi mengubah air laut yang tadinya terasa asin menjadi air mineral yang layak untuk dikonsumsi oleh manusia.

Kamis, 22 Juli 2010

KISAH YANG TERCECER DARI KEBIJAKAN MERUBAH PRILAKU MASYARAKAT KABUPATEN SIKKA

Oleh: Maximilianus Adifan
(Fasilitator Kelembagaan POKJA AMPL Kabupaten Sikka)

Kamis, 10 Juni 2010 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sikka, khususnya masyarakat Desa Gunung Sari- Kecamatan Alok dan Desa Watuliwung-Kecamatan Kangae yang berani mendeklarasikan Desanya masing-masing sebagai “Kawasan Stop BAB Di Sembarang Tempat”. Komitmen ini tertuang dalam suatu prasasti yang ditandatangi oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang dan Pimpinan Yayasan Dian Desa Wilayah NTT, Petrus S. Swarnam, MT yang kemudian diserahkan kepada pemerintah Desa di kedua wilayah ini pada kesempatan “Lokakarya Berbagi Pengalaman dari Hasil Kerja Sama Program Air Bersih, Sanitasi dan Pengolahan Air Minum –sekala Rumah Tangga (PAM-RT) di 6 Desa di Kabupaten Sikka” di Hotel Sylvia, salah satu hotel termegah yang terdapat di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.
Penandatanganan prasasti disertai ritual penyerahan penghargaan kepada kedua desa yang telah berkomitmen untuk menjadi Desa contoh bagi suatu upaya merancang kawasan yang bersih dan sehat. Menurut bapak Petrus, ke dua Desa ini mendapat penghargaan bukan karena mereka telah sukses memelihara Desa mereka sebagai Desa yang tertib dalam urusan buang air besar, tetapi penghargaan ini dijadikan motivasi bagi suatu niat yang telah mulai dibangun dan akan direalisasikan dalam satu komitmen bersama dari semua warga Desa di ke dua wilayah ini. Hal ini ditegaskan pula oleh Ibu Kristina dari Yayasan Dian Desa Yogyakarta, selaku moderator diskusi yang menekankan prihal penandatanganan prasasti ini sebagai motivasi bagi perubahan prilaku. “Komitmen ini dibangun setelah melewati proses yang panjang, terutama dalam pendekatan dan sosialisasi program kepada masyarakat dua desa ini”, demikian ibu Kristina berkisah.
Namun, apakah deklarasi itu sangat penting? Sebagai suatu komitmen yang lahir dari sebuah kesadaran, hal ini memang sangat penting. Hal ini ini ditegaskan oleh dr. Damianus Wera, Wakil Bupati Sikka dalam kata sambutannya sebelum membuka secara resmi Lokakarya sehari ini. Menurut dr. Dami, masyarakat Kabupaten Sikka ini terdiri dari beberapa etnis dengan karakter dan kebiasaan masing-masing dalam urusan Buang Air Besar. Ada etnis yang mendiami wilayah kepulauan (masyarakat pinggir pantai) dan ada etnis yang mendiami wilayah pegunungan. Pada umumnya, dari semua etnis yang ada, tidak ada etnis yang luput dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. Jadi BABS merupakan warisan yang terkadang dijadikan kharakter etnis. Itulah kebiasaan bukan hal yang aneh. Dari semua etnis ini, ada kelompok masyarakat yang memilih hutan dan ada juga kelompok masyarakat yang memilih wilayah pesisir sebagai tempat sebagai tempat khusus itu. Dokter dari Pulau Palue ini sempat mengisahkan pengalamannya ketika ia pernah menginap di Pulau Permaan, salah satu pulau yang terletak di sebelah Utara Kota Maumere, sebagai seorang dokter. “Masyarakat ini sangat berbeda dengan masyarakat di tempat lain. Bagi masyarakat ini, rasa malu itu timbul kalau orang melihat mukanya. Kalau kita ingin membuang air besar, mereka akan memberikan kepada kita sehelai sarung. Sarung itu dijadikan tempat khusus untuk menutup kepala ketika duduk berjejer di pinggir pantai sambil bercerita di terangi sinar rembulan. Hal ini sangat berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Bagi mereka rasa malu itu timbul kalau bagian yang tersembunyi dari organ tubuh itu dilihat orang lain. Oleh karena itu mereka mencari hutan bila ingin buang air besar.”
Lokakarya ini diselenggarakan sebagai momen yang penting untuk merunut kembali kisah yang tercecer dalam program kerja sama tiga tahunan antara Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Yayasan Dian Desa dan Simavi-Belanda dari tahun 2007-2010. Program Kerja sama Yayasan Dian Desa dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 2005 yang dititikberatkan pada program PAM-RT dengan teknik SODIS. Target sasarnya adalah mereka yang terbiasa mengkonsumsi air mentah atau yang dikenal oleh masyarakat lokal sebagai air hidup. Menurut Pa Petrus PAM-RT dengan teknik SODIS ini menghasilkan air minum berkualitas tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Inilah salah satu teknologi tepat guna yang bisa mengurangi penggunaan BBM dan kayu api. Caranya adalah air mentah dimasukan ke dalam botol aqua berukuran sedang lalu dijemur. Setelah air yang dipanaskan oleh sinar matahari itu sudah mencapai 50 derajat celcius ia sudah layak untuk diminum. Ukuran sederhana untuk masyarakat adalah air itu dipanaskan selama sehari atau dua hari kalau cuacanya mendung. “Teknik sederhada ini hanya memanfaatkan sinar matahari untuk mematikan kuman-kuman penyakit yang terkandung dalam air. Inilah salah satu bentuk teknologi tepat guna yang kemudian berkembang pesat pada desa dampingan Yayasan Dian Desa. Namun ia tidak bertahan lama. Menurut Pa Petrus, hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang hanya memanfaatkan teknologi tepat guna SODIS ini sewaktu didampingi oleh petugas. Ketika tidak ada dampingan, masyarakat kembali pada kebiasaan lama yang mengkonsumsi air hidup atau air mentah. Hal inilah menjadikan Kabupaten Sikka sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki resiko kejadian luar biasa diare yang telah menelan biaya yang banyak dalam proses penanganannya.
Setelah melakukan evaluasi terhadap program SODIS ini, tahun 2007 Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa kembali memfokuskan perhatian pada upaya pencegahan penyakit ini, bukan pengobatan. Hal ini diyakini sangat berat karena harus merubah prilaku atau kebiasaan masyarakat. Tindakan preventiv ini membutuhkan bantuan orang lain untuk menjadi motivator bagi perubahan prilaku masyarakat. Dalam hal ini, Yayasan Dian Desa berperan sebagai salah satu lembaga motivator bagi perubahan prilaku masyarakat Kabupaten Sikka. “Tidak ada kata mundur mundur selagi mau berusaha”, demikian Pa Petrus mengutarakan prinsipnya dalam kesempatan diskusi.
Menurut Pa Petrus, “dalam pelaksaan program, terutama ketika kosentrasi program dititikberatkan pada daerah rawan diare, terutama masyarakat pinggir pantai dan kepulauan, banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya bersentuhan langsung dengan medan yang berat. Di samping itu, perahu yang membawa petugas sangat kecil sehingga menimbulkan kecemasan ketika harus melewati laut. Tantangan lain adalah mental masyarakat yang masih tergantung pada subsidi. Hal ini bertentangan dengan program pemberdayaan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. “Satu hal yang menjadi pilar bagi bangkitnya semangat juang adalah moto hidup tidak ada yang gratis. Hidup selalu membutuhkan perjuangan”, jelas bapak yang sudah lama meninggalkan istri dan anaknya di tanah Jawa ini untuk mengabdi di Flores-NTT. Moto ini sangat erat kaitannya dengan sistem pemberdayaan yang digunakan yakni partisipasi atau swadaya masyarakat.
Dalam kesempatan Lokakarya ini, dr. Delly Pasande, M.Kes, MMR selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka tampil sebagai pembicara pertama dengan materi berjudul “Merancang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Menuju Masyarakat Sikka Sehat 2014”. Menurut bapa yang bertubuh langsing ini, strategi nasional dalam pengangan masalah sanitasi ini selalu merujuk pada keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 852/MENKES/SK/IX/2008 yang menekankan lima pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yakni STOP BABS (buang air besar sembarang tempat), CTPS (cuci tangan pake sabun), PAM RT (pengolahan air minum skala rumah tangga), pengolahan sampah dan limbah cair rumah tangga. “Prinsip dasar STBM yakni berbasis masyarakat, keberpihakan terhadap kelompok miskin, keberpihakan pada lingkungan, tanggap terhadap kebutuhan, kesetaraan jender, non subsidi dan harus berkelanjutan”, jelas orang nomor satu di Dinas Kesehatan ini.
Inilah keprihatinan dasar yang juga menjadi pokok perjuangan masyarakat seluruh Indonesia, terutama masyarakat Kabupaten Sikka. Dari sambutan Wakil Bupati Sikka dan materi yang dibawakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka pada kesempatan Lokakarya ini, ditemukan bahwa kondisi Sanitasi di Kabupaten Sikka masih sangat memprihatinkan. Salah satu contoh yang dapat kita ambil untuk memperkuat pernyataan ini dilihat dari aspek kepemilikan jamban dari keseluruhan masyarakat Kabupaten Sikka yang hanya mencapai 40 % (bdk. Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka per tahun 2009).
Pembicaraan kedua tokoh yang mewakili Pemerintah Kabupaten Sikka ini menegaskan bahwa kebijakan STBM ini sebenarnya sudah dimulai dan berbagai langkah langkah sudah dilakukan dalam upaya memotivasi perubahan prilaku masyarakat, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan pencapaian hasil, karena masih ada beberapa kelemahan, antara lain kurangnya koordinasi dan kerja sama baik internal, antar instansi di Pemerintahan maupun dengan berbagai pemangku kepentingan terkait sehingga masih sering terjadi tumpang tindih. Untuk mengatasi kelemahan ini diperlukan suatu upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) baik untuk leadership, managerial, advokasi dan fasilitasi – terutama untuk ruang lingkup Puskesmas yang menjadi ujung tombak kesehatan di masyarakat. Di samping itu, proses merubah paradigma pelayanan juga menjadi hal yang penting. Pelayanan pemerintah terhadap masyarakat harus berubah orientasi dari mental “proyek” kepada upaya menggiatkan “partisipasi masyarakat”. Hal ini diperlukan untuk mengaplikasikan program pembangunan masyarakat yang menekankan “methodology for partisipatory assesment”.
Dalam sesi diskusi kelompok yang melibatkan semua sanitarian yang menyebar di seluruh puskesmas di Kabupaten Sikka pada kesempatan Lokakarya ini, ditemukan kenyataan bahwa kelima pilar STBM ini sudah dilaksanakan. Hasil diskusi menunjukkan bahwa pilar Stop BABS sudah dijalankan tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sementara pilar cuci tangan pakai sabun (CTPS) juga sudah digerakan tetapi kebanyakan masih terbatas pada sekolah sekolah yang menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Sikka. Pilar ini belum menyentuh ruang lingkup rumah tangga terutama ibu-ibu. Selain itu, pilar PAM-RT lebih didominasi dengan teknik merebus dan SODIS hanya diterapkan di beberapa desa atau dusun saja. Sedangkan kedua pilar lain dari STBM ini yakni pengolahan sampah rumah tangga dan sistem pengolahan air limbah masih terbatas pada tahap sosialisi.
Disamping semua kenyataan di atas, terdapat juga beberapa kendalam dalam proses penerapan STBM di tengah masyarakat Kabupaten Sikka, yakni kurang atau tidak adanya koordinasi antar pelaku, sikap masyarakat yang hanya mau minta bantuan, keterbatasan sarana terutama air, keterbatasan SDM - dana dan yang terakir adalah kegiatan non-fisik untuk perubahan perilaku belum menjadi prioritas.
Di samping itu, ditemukan juga kebaikan dan kekurangan metodologi MPA dalam proses diskusi itu. Kebaikan dari MPA adalah bahwa seluruh lapisan masyarakat teribat aktif pada semua tahapan kegiatan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. MPA mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat dan kemauan untuk berkontribusi dan berpartisipasi aktif. Lebih dari itu, MPA mampu menggerakan masyarakat untuk memahami dan mengetahui permaslahan mereka. Sementara kekurangan dari MPA antara lain: metode ini sulit diterapkan bila berhadapan dengan masyarakat yang masih bermental “proyek”. Untuk itu diperlukan fasilitator yang handal. Proses pembangunan dengan MPA memakan banyak waktu dan tenaga.
Berkaitan dengan CLTS, diskusi kelompok juga menemukan kebaikan dan kekurangannya. Kelebihan dari CLTS ini adalah adanya swadaya murni masyarakat (tanpa subsidi), mampu menumbuhkan semangat gotong royong, masyarakat merasa memiliki, timbul kesadaran untuk meurbah perilaku dan ada kontrak kerja. Sedangkan kekurangan dari CLTS itu sendiri adalah respon dari masyarakat masih rendah, tidak semua masyarakat menepati kontrak kerja, butuh waktu yang lama untuk mencapai target, belum semua jamban yang dibuat memenuhi syarat dan kesuksesan dari program ini sangat bergantung pada kemampuan fasilitator.
Bila dilihat secara mendetail, diskusi ini telah menemukan solusi yang membutuhkan tanggapan dari semua pihak, terutama pelaku POKJA AMPL Kabupaten Sikka. Solusi yang harus dikembangkan dalam upaya mendorong perubahan prilaku masyarakat ini harus dilakukan melalui upaya peningkatan koordinasi dan kerja sama lintas sektor dan para pemangku kepentingan, perlu pendataan yang jelih terhadap kondisi 5 pilar STBM, semua program perubahan prilaku masyarakat harus terakomodir dalam Peraturan Desa yang mengikat seluruh masyarakat Desa dan perlu dilakukan monitoring dan supervisi yang berkesinambungan.
Selain itu, satu hal yang dijadikan motivasi bagi masyarakat dalam upaya mempercepat proses perubahan prilaku ini adalah melalui apresiasi atau penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Sikka terhadap Desa atau Dusun atau kelompok yang berhasil dalam menjalankan setiap pilar STBM itu sendiri. Salah satu contoh telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sikka dalam proses kerja sama dengan Yayasan Dian Desa Wilayah NTT, seperti yang terjadi pada hari bersejarah ini, yakni penghargaan terhadap dua Desa yang berkomitmen untuk membebaskan Desanya dari kebiasaan membuang air besar di sembarang tempat.
Masyarakat dan pemerintah di kedua Desa ini sudah memulainya dengan membangun komitmen bersama. Akankah Desa-Desa lain di Kabupaten Sikka ini mengikuti teladan ke dua Desa ini dalam membangun komitmen bersama untuk merubah prilaku masyarakat demi mewujudkan masyarakat Kabupaten Sikka yang bermartabat? Mari kita memulainya dari sekarang.

Senin, 12 Juli 2010

POKJA AMPL KABUPATEN SIKKA DALAM ALUR WAKTU

oleh: Max Adifan

Proses pembentukan kelompok kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (POKJA AMPL) di Kabupaten Sikka telah memakan waktu yang lama. POKJA AMPL ini diprakarsai sejak tahun 2008 oleh Dinas Kesehatan, Dinas PU, Pertambangan dan Energi dan BPPPMD Kabupaten Sikka dan didukung oleh lembaga UNICEF. Inisiatif ini semakin mengarah kepada tujuan pembentukan POKJA AMPL dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Sikka nomor 255/ HK /2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Kabupaten Sikka tahun 2009. Tim koordinasi ini bukanlah POKJA AMPL. Ia hanya merupakan embrio menuju kelahiran POKJA AMPL Kabupaten Sikka.
Walau sebagai embrio bagi kelahiran POKJA AMPL Kabupaten Sikka, Tim Koordinasi ini telah melaksanakan beberapa kegiatan dasar yang sangat menentukan arah kebijakan POKJA AMPL Kabupaten Sikka selanjutnya. Beberapa program yang telah dilaksanakan di antaranya adalah adanya rapat koordinasi lintas sektor terkait pelaku AMPL Kabupaten Sikka. Kegiatan lain yang dilakukan adalah upaya awal dalam proses penyusunan Rencana Strategis AMPL Kabupaten Sikka. Hal ini ditandai dengan diadakannya Lokakarnya yang membahas tentang Rencana Strategis AMPL Kabupaten Sikka yang dilaksanakan di Aula Biara Karmel pada tanggal 19-22 Oktober 2009.
Untuk memperlancar proses pembentukan POKJA AMPL Kabupaten Sikka ini, maka atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Sikka, melalui BPPPMD Kabupaten Sikka dengan dukungan dari UNICEF, di adakan perekrutan tenaga teknsis yang berfungsi untuk memfasilitasi semua kegiatan terkait POKJA AMPL Kabupaten SIKKA. Fasilitaor ini direkrut pada bulan April 2010 dan mulai bertugas sejak tanggal 12 April 2010 berdasarkan Surat Perjanjian Kerja (Kontrak) Nomor: Bap.I.3/Skr.15.a./2010 yang ditandatangani oleh Kepala BPPPMD Kabupaten Sikka selaku Ketua POKJA AMPL Kabupaten Sikka (Pihak I) dan Fasilitator AMPL Kabupaten Sikka (Pihak Kedua). Fasilitator POKJA AMPL berkantor di Ruangan Bidang Perencanaan Sosial Budaya dan Ekonomi pada BPPPMD Kabupaten Sikka (Alamat Jl. Mawar –Telp. (0382) 21696 -21885 Fax (0382) 21696 Maumere -86112).
Keterarahan kepada proses pembentukan POKJA AMPL kembali bergema lagi. Hal ini ditandai dengan dilanjutkannya proses penyusunan Renstra AMPL Kabupaten Sikka, Penyusunan data base AMPL Kabupaten Sikka dan pengawasan terhadap proses penyususan Keputusan Bupati Sikka tentang POKJA AMPL Kabupaten Sikka.
Suatu hal yang patut mejadi kebanggaan seluruh pelaku AMPL Kabupaten Sikka adalah bahwa POKJA AMPL sudah ditetapkan melalui Keputusan Bupati Sikka Nomor 112/HK/2010 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja Penyelenggaraan Program Nasional Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Kabupaten Sikka tahun 2010. SK ini ditetapkan di Maumere pada tanggal 5 Juni 2010 oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang, yang beranggotakan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Dinas PU, Pertambangan dan Energi Kabupaten Sikka, Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sikka, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sikka, Komisi B DPRD Sikka, Badan Perencanaan Pembangunan dan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Sikka, PDAM Sikka.
Di pilak lain POKJA AMPL Kabupaten Sikka juga memiliki mitra kerja yang telah lama berupaya menggerakan perubahan prilaku masyarakat dalam aspek pemanfaatan sarana air minum dan sanitasi, di antaranya adalah:
• Lembaga independen yang menangani program pemerintah daerah, seperti PAMSIMAS, P2KP dan PNPM Mandiri.
• Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkiprah di Kabupaten Sikka, seperti PLAN Indonesia-Sikka, Yayasan Dian Desa Wilayah NTT, Wahana Visi Indonesia, ChildFund, Yayasan Pembangunan Masyarakat, UNICEF.
• Perusahaan Swasta di bidang Air Minum, seperti Perusahan Air Minum isi Ulang (24 buah) dan Perusahaan Air Minum Kemasan (3 buah).
Suatu kerinduan yang terbersit dari kehadiran POKJA AMPL di Kabupaten Sikka adalah terpenuhinya Kebutuhan Air Minum dan sanitasi yang berkualitas dan berkelanjutan menuju Sikka Sehat 2015 dalam suatu proses membangun dengan hati nurani mulai dari Desa. Mai mogat hama-hama, mai kita ate leleha, mai kita sa ate, dai tite hama-hama.

MENGGAULI MOTTO “MEMBANGUN MULAI DARI DESA” (Sebuah Catatan Pinggir)

Oleh: Maxi Adifan
Fasilitator Kelembagaan POKJA AMPL Kab. Sikka
Tinggal di Maumere

Tuntutan Undang-Undang Negara Republik Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan mimpi menjadi negara makmur seharusnya telah mempengaruhi seluruh proses pembangunan pada segala bidang Pelayanan publik di Indonesia. Namun realitas menunjukan bahwa status negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak pernah beralih ke status negara maju, bahkan kecendrungan untuk menjadi negara miskin semakin menguat. Lalu mengapa demikian?
Menurut saya, salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah sistem pelayanan dan pola pembangunan yang dijalankan dalam suatu wilayah pemerintahan dari periode ke periode. Terkadang sistem pelayanan dari suatu wilayah pemerintahan ditentukan oleh siapa yang menjabat dalam suatu periode pembangunan. Ketergantungan pada subyek yang menjabat ini akan berdampak pada program yang dicanangkan. Setiap periode pemerintah selalu menghadirkan program-program spektakuler, yang terkadang menginginkan suatu program yang “tampil beda”, lain dari pada yang lain. Konsekuensi lanjutannya adalah program-program lama terpaksa harus dinegasikan. Di samping itu, pejabat yang menduduki salah satu posisi sangat dipengaruhi oleh proses mutasi dari periode ke periode. Akibat tercepat dari proses yang demikian adalah terkadang setiap program tidak dijalankan secara berkesinambungan. Setiap pejabat yang menduduki suatu posisi akan selalu meluangkan waktu untuk belajar minimal satu bulan. Hasil dari proses belajar selama satu bulan ini bisa berdampak positip, program yang sudah dicanangkan itu, bisa berjalan sesuai dengan rencana, namun bisa juga mendapatkan hasil terbalik. Program yang sudah dicanangkan dalam kurun waktu dan biaya yang tidak sedikit itu diabaikan demi suatu program yang “tampil beda”.
Apakah realitas ini dimungkinkan bagi suatu upaya mencapai kemajuan suatu daerah? Bagi saya, kemungkinan untuk mencapai kemajuan bisa terjadi. Namun bisa juga tidak. Hal ini terjadi karena semua pelaku pembangunan terkadang menghabiskan waktu, tenaga dan anggaran biaya untuk merancang program-program.
Saya sendiri merasa tertarik dengan motto dari pimpinan wilayah Kabupaten Sikka yang sedang menjabat saati ini. Dalam konsep pembangunannya, Bupati dan Wakil Bupati Sikka sebagai satu paket pasangan mengambil motto “membangun mulai dari Desa”. Motto ini secara jelas mengindikasikan suatu proses pembangunan yang selama ini berjalan yakni pembangunan yang dikosentrasikan atau dimulai dari kawasan perkotaan. Efeknya adalah bahwa masyarakat Desa hanya mendapat imbas dari suatu proses pembangunan itu. Masyarakat Desa bisa dibangun bila kawasan perkotaan sudah maju. Lalu, seperti apa sebenarnya proses pembangunan mulai dari desa itu?
Ketika saya merenungkan indikasi makna yang terkandung dari motto ini, terlintas dalam benak saya suatu pemahaman sederhana. Pemahaman ini terlepas dari konfirmasi dengan pihak yang memproklamirkan motto ini. Menurut saya, proses pembangunan mulai dari Desa itu sebenarnya suatu proses pembangunan yang menempatkan masyarakat Desa sebagai target pelayanan dan subyek atau pembangunan. Ketika menempatkan masyarakat Desa sebagai target pelayanan maka semua kosentrasi pembangunan itu adalah pembangunan masyarakat Desa. Jadi setiap Desa wajib mengusulkan programnya yang tertuang dalam musrenbang tingkat kecamatan, untuk diusulkan ke musrenbang Kabupaten, dst. Bila hal ini yang dilakukan, maka realitas yang terjadi adalah bahwa program-program ini akan selalu melampaui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Program yang melampaui APBD ini melahirkan kondisi defisit anggaran tahunan suatu daerah pemerintahan. Hal ini sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Ini konsekuensi terberat dari suatu proses pembangunan.
Terlepas dari realitas defisitnya anggaran tahunan, membangun mulai dari Desa selalu menegaskan prinsip bahwa tolok ukur kemajuan suatu daerah harus dilihat dari kemajuan sebuah proses pelayanan terhadap masyarakat Desa. Misalnya dalam proses mengukur kemajuan masyarakat Kabupaten Sikka. Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Kabupaten Sikka sudah sejahtera kalau banyak masyarakat Desa yang masih menggunakan lampu pelita untuk penerangan di malam hari? Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Sikka sejahtera kalau banyak masyarakat Desa yang harus mengambil air minum dalam jarak 1-5 km setiap hari? Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Sikka sejahtera kalau masih banyak daerah di Kabupaten Sikka yang menjadi daerah rawan kejadian luar biasa Diare setiap tahun?
Membangun mulai dari Desa tidak berarti mengabaikan masyarakat Kota. Kemajuan pembangunan bagi masyarakat Desa sebenarnya akan mempengaruhi kemajuan pembangunan bagi masyarakat Kota. Karena sistem pergerakan ekonomi selalu berjalan lancar dengan kosentrasi alur transportasi menuju Ibukota Kabupaten. Jadi di sini kita dapat mengatakan bahwa seharusnya kemajuan Ibukota Kabupaten harus menjadi efek dari kemajuan wilayah pedesaan, bukan sebaliknya. Inilah yang mesti dipikirkan dan menjadi perhatian ke depan.
Dalam konteks konteks keberadaan masyarakat Desa sebagai subyek kita dapat melihat bahwa di sini kita sudah semestinya menjadikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan itu sendiri. Masyarakat harus membangun Desanya dengan seluruh kemampuan yang ada. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pemerintah Daerah atau pihak luar Desa hanya berfungsi sebagai motivator, fasilitator dan perangsang /pemicu pembangunan. Peran sebagai motivator dijalankan dengan memberi motivasi kepada masyarakat Desa agar secara gotong-royong membangun Desanya. Sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah bisa memfalitasi pelatihan bagi tenaga teknis lokal dan sekaligus menfasilitasi kerja sama masyarakat Desa dengan lembaga donor atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Perangsang/pemicu menempatkan posisi pemerintah Daerah sebagai perangsang atau pemicu pembangunan di Desa-Desa.
Jadi dalam proses “membangun mulai dari Desa” dengan menitikberatkan masyarakat Desa sebagai target dan subyek pelayanan telah merubah paradigma pembangunan demi pelayanan terhadap masyarakat Sikka. Pergeseran paradigma ini seharusnya dititikberatkan pada pola pemberdayaan masyarakat Desa bukan pola proyek. Kosentrasi program pada pola pemberdayaan memungkinkan kita untuk menempatkan masyarakat Desa sebagai subyek yang diberdayakan, bukan subyek yang “diproyekan”. Hal ini mungkin sudah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagi program pembangunan yang selama ini sudah dilaksanakan, seperti PNPM Mandiri, Pamsimas dan program P2KP untuk wilayah perkotaan. Namun dari sekian program yang dijalankan, perubahan prilaku masyarakat belum menunjukkan angka yang signifikan. Lalu kesalahannya terletak di mana? Untuk menjawab pertanyaan ini saya sendiri juga belum bisa menjawab, di mana letak kesalahan dalam proses membangun bangsa atau daerah kita ini.
Salah satu faktor penghambat yang mungkin bisa diraba-raba berkaitan dengan mandeknya proses pembangunan masyarakat Desa ini adalah peran sosialisasi. Mental masyarakat Desa sulit untuk bergeser dari mental “proyek”. Masyarakat Desa telah terlena dengan sekian banyak proyek yang masuk ke Desa. Masyarakat hanya menghendaki supaya mereka menikmati hasil dari proses pembangunan tanpa campur tangan dalam proses pembangunan itu sendiri. Misalnya setelah proyek selesai mereka menggunakan sarana yang ada. Tetapi kalau sarana yang ada mengalami kerusakan dalam proses pemanfaatannya, program baru dirancang untuk mengalokasikan lagi dana untuk proyek rehap sarana yang ada.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemberdayaan. Pemberdayaan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Masyarakat sebagai subyek pembangunan harus bisa merasa memiliki “sense of belonging” terhadap suatu program pembangunan yang sedang dijalankan. Sistem yang digunakan adalah setengah dari taksasi anggaran pembangunan dibebankan pada masyarakat, berupa pengadaan bahan lokal seperti batu, pasir, tenaga angkut, dll. Di sini masyarakat sungguh-sungguh terlibat dalam suatu proses pembangunan, bukan sebagai penonton dan pemanfaat. Keterlibatan masyarakat memungkinkan mereka untuk merasa bahwa masyarakat Desa itu sendiri mengeluarkan keringat untuk merealisasikan pembangunan itu sendiri. Sehingga rasa bertanggungjawab terhadap sarana yang telah dibangun itu selalu tertanam dalam diri masyarakat itu sendiri.
Selain keterlibatan dalam proses pembangunan, pemberdayaan ini berdampak pada proses keterlibatan dalam proses pemeliharaan sarana dan prasaran yang dibangun. Keterlibatan dalam proses pemeliharaan pasca pembangunan ini yang seharusnya menjadi orientasi dasar dari suatu proses pembangunan. Rasa memiliki akan timbul pada tahap pemeliharaan ini. Bukan pada tahap membangun.
Dengan demikian proses “membangun mulai dari Desa” juga mengindikasikan suatu proses pembanguan manusia, bukan benda mati. Pembangunan manusia pada akhirnya harus berdampak pada perubahan prilaku. Prilaku harus bergeser dari kebiasaan menonton setiap proyek pembangunan menuju kebiasaan melibatkan diri dalam suatu proses pembangunan. Prilaku harus bergeser dari mental merusak sarana dan prasarana yang sudah dibangun kepada prilaku merawat atau memelihara sarana yang sudah dibangun yang didasarkan pada rasa memiliki sarana yang ada setelah berjuang dengan tetesan keringat untuk membangunnya.

MERANCANG IDEALISME PEMBENTUKAN BPABS DI KABUPATEN SIKKA

OLEH: MAXIMILIANUS ADIFAN

Worksop Organisasi Pengelola Air Minum dan Badan Pengelola Air Minum pada hari Jumat (25 Juni 2010) di Aula Hotel Gading Beach –Maumere menghadirkan pengurus OPAM pada Desa dampingan PLAN Sikka guna menukar informasi seputar proses dan sistem pengelolaan air minum di Desa masing-masing. Peserta yang hadir berasal dari empat desa dampingan PLAN Sikka, di antaranya adalah Desa Kolisia B, Desa Reroroja, Desa Parabubu, Desa Wolodhesa. Selain ke empat Desa ini, Desa Kowi (salah satu Desa Dampingan Unicef) juga turut hadir karena ia juga sedang mengagendakan proses pembentukan Badan Pengelola Air Minum di Desanya. Dalam kesempatan ini, utusan dari kelima Desa yang hadir yang terdiri dari Kepala Desa, BPD dan Pengurus inti OPAM dan BPAM diberikan waktu seluas-luasnya untuk membagikan pengalaman seputar proses, keuntungan dan tantangan yang mereka hadapi dalam mengelola air minum di Desa mereka.
Sebagai suatu momen pertukaran informasi, Worshop hari ini telah melahirkan beberapa permasalahan dalam proses pemeliharaan SAB Desa pasca pembangunan. Beberapa kendala yang dapat diangkat di sini, di antaranya adalah sitem pengelolaan yang belum maksimal, pemanfaatan air masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan air minum (belum menyentuh aspek sanitasi) dan pungutan iuran air minum yang belum dilaksanakan. Semua perangkat Desa dan Pengurus OPAM yang hadir mengisahkan kalau permasalahan ini telah berimbas pada efektifitas pemeliharaan dan perawatan sarana air minum yang sudah dibangun. Masih banyak masyarakat yang sering masah bodoh dan tidak berinisiatip untuk memperbaiki kran yang rusak, masih ada masyarakat yang mandi di kran umum, air dibiarkan mengalir begitu saja pada titik pipa atau kran yang bocor, banyak air yang tergenang di seputar tugu KU yang dibangun, dan perawatan SAB sangat tergantung pada inisiatip dari setiap individu yang merasa prihatin dengan kondisi kran yang bocor.
Lalu, apakah realitas ini harus dibiarkan? Bagaimana seharusnya kita mencari solusi terhadap masalah di atas? Untuk memacing partisipasi peserta workshop ini, Sipri Rahas selaku WASH Facillitator PLAN Sikka mengajak peserta untuk melihat lebih jauh ke arah sistem yang ada, terutama berkaitan dengan ketidaklancaran dalam membayar iuran oleh masyarakat pemanfaat SAB. “Sebenarnya kendalanya terletak pada sistem yang digunakan OPAM itu yang tidak berjalan, bukan terletak pada iuran yang tidak dibayar oleh masyarakat pengguna air”. Peryataan ini dikemukakan berkaitan dengan sharing dari Ketua OPAM Desa Wolodhesa yang mempertimbangkan ekonomi masyarakat bila harus memungut iuran air.
Berkaitan dengan kecenderungan masyarakat yang sering merusak SAB yang ada, beberapa Desa telah menerapkan kebijakan lokal seperti sumpah adat. Kebijakan ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat Wolodhesa, seperti yang tercermin dari sharing Kepala Desa Wolodhesa. “Kami menggunakan upacara “sumpah adat” yang biasa dipraktekan dalam tradisi masyarakat Lio (salah satu suku di Kabupaten Sikka) untuk menghindari kebiasaan buruk masyarakat yang sering merusak pipa atau kran air. Kebijakan ini ternyata berhasil. Masyarakat merasa takut untuk membuat ulah seperti merusakan pipa air.
Kembali kepada momen sharing, suatu kenyataan menarik, yang sempat ditentang oleh pengurus OPAM dari Desa Reroroja adalah bahwa Desa Kowi telah membangun SAB dengan sistem gravitasi sambungan rumah. Menurutnya sambungan rumah, apalagi dengan menggunakan meteran di setiap rumah itu, sangat rawan terhadap upaya pengambilalihan peran pengolahan air minum oleh PDAM. “Sistem yang paling baik untuk masyarakat Desa adalah sistem distribusi KU”, tegasnya.
Menanggapi pernyataan ini, Kepala Desa Kowi, Bapak Yohanes B. Bata menjelaskan bahwa awalnya ia tidak yakin dengan program ini. “Waktu itu saya masih menduduki posisi sebagai anggota panitia pembangunan SAB. Tetapi kenyataannya, Desa Kowi telah menikmati air minum dari SAB dengan sistem distribusi SR ini selama hampir setahun dan sampai saat ini PDAM tidak mengambilalih sistem pengolahan air minum ini,” demikian bapak yang baru berusia 25 tahun menjelaskan. Penjelasan ini diamini juga oleh Ketua Panitia Pembangunan SAB Desa Kowi, Bapak Yohanes Rasi. Menurutnya, kecemasan seperti itu memang ada sejak proses sosialisasi program pembangunan SAB di Desa Kowi. Namun setelah mendengar penjelasan dari pihak Bappeda Kabupaten Sikka sebagai pihak yang memfasilitasi program ini, kami mendapatkan jawaban bahwa kecemasan itu tidak akan terjadi selagi masyarakat Desa bisa mengelola airnya sendiri.
Dalam diskusi selanjutnya, Bapak Sipri kembali menekankan perihal peran OPAM dalam proses pengelolaan air minum yang berkejanjutan di Desa masing-masing. Menurut Sipri, pemerintah dalam hal ini PDAM tidak akan mengambil alih SAB milik desa. Hal ini berkaitan dengan orientasi pelayanan dari PDAM yang hanya menjangkau masyarakat perkotaan dan ibu kota Kecamatan. “Kalau wilayah Ibu kota Kecamatan memang masuk dalam wilayah pelayanan PDAM. Tetapi sejauh ini, wilayah pedesaan belum menjadi target PDAM”, demikian bapak yang sudah melalang buana di pelosok-pelosok Desa se Kabupaten Sikka ini menjelaskan.
Menyimak pentingnya upaya menghalau kecemasan masyarakat Desa terhadap proses pengambilalihan sistem pengelolaan SAB ini oleh PDAM, Maxi Adifan selaku fasilitator kelembagaan POKJA AMPL Kabupaten Sikka menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Daerah tidak menghendaki realitas terburuk yang terjadi di tengah masyarakat yakni banyaknya SAB yang sudah dibangun oleh berbagai pihak tetapi tidak dipelihara oleh masyarakat pengguna itu sendiri. “Pemerintah Daerah bisa saja mengambil alih proses pemeliharaan SAB itu bila masyarakat tidak sanggup mengelola SAB milik Desanya sendiri”. Untuk menghindari pengambilalihan ini maka Pemerintah Desa bersama masyarakatnya harus membentuk Badan Pengelola Ari Minum tingkat Desanya. BPAM ini berperan sebagai pengelola SAB yang ada di Desanya. BPAM adalah wadah milik Desa. Orientasi ke depan dari BPAM ini adalah bahwa ia harus bisa menjadi badan usah milik Desa yang sanggup menghasilkan pendapatan bagi Desa bila dikelola secara baik. “Hal ini semestinya harus menjadi perhatian kita. BPAM ini berdiri sendiri dan Pemerintah Desa harus menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja kerja dari BPAM ini ketika BPAM menjadi salah satu badan usaha milik Desa. Selanjutnya, BPAM harus bergerak berdasarkan Peraturan Desa.”
Berkaitan dengan orientasi pembentukan BPAM ini, peserta Workshop menyepakati beberapa hal, di antaranya adalah perlunya upaya untuk memprogramkan kegiatan lokakarya penetapan Perdes Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi untuk masyarakat Desa yang harus dilaksanakan dalam waktu dekat yakni pada akhir bulan Agustus. Pihak yang harus diundang dalam lokakarya ini adalah Kabag Hukum dan Kabag Pemdes pada Sekretariat Daerah Kabupaten Sikka dan Desa-Desa yang sudah atau yang belum memiliki Badan Pengelola Air Minum Desa. Hal ini dilakukan supaya ada kesamaan persepsi dalam menjalankan tugas BPABS di Desa masing-masing.
Ada beberapa poin penting yang dipeloleh dari workshop sehari ini, di antaranya adalah bahwa
• Pemerintah Desa harus menjalankan fungsinya untuk mengawasi jalanya program dalam konteks kerja sama dengan Lembaga donor /LSM dan masyarakat Desa
• Kepala Desa perlu mengetahui anggaran dana yang dikeluarkan supaya bisa mengontrol setiap perkembagan pelaksanaan program dan tingkat perkembangan kelompok itu sendiri
• Badan Pengelola Air minum harus juga mencakup aspek pelayanan dan pengawasan di bidang sanitasi
• Term BPAM harus direvisi dan diganti dengan TERM Badan Pengelola Air Bersih dan Sanitasi (BPABS) sehingga ada kesinambungan program dan pelayanan di tingkat Desa
• BPABS menjalankan fungsi pemeriharaan sarana air bersih dan Sanitasi pasca pembangunan dan menjamin kualitas pelayanan di bidang air minum dan sanitasi bagi masyarakat Desa
• BPABS harus ditetapkan melalui PERDES yang mengikat secara hukum
• Iuran air harus ditagih oleh BPABS untuk perawatan Sarana lebih lanjut, dan ditetapkan dalam PERDEES
• Perlu evaluasi terhadap managemen BPABS oleh Pemerintah Desa dan masyarakat.
Apakah memang kerinduan untuk meningkatkan cakupan pelayanan di bidang Air Bersih dan Sanitasi itu akan terwujud melalui pembentukan BPABS ini? Inilah pertanyaan reflektif yang terkadang mengganggu idealisme pelayanan AMPL. Mungkin jawaban yang dapat diberikan adalah bahwa idealisme itu tidak mungkin terealisir secara sempurna. Namun idealisme tetap dan harus selalu ada, terutama sebagai sebuah langkah awal untuk menata manajemen pengelolaan SAB dan sanitasi tingkat Desa yang belum pernah terpikirkan.