Rapat Koordinasi POKJA AMPL

Rapat Koordinasi POKJA AMPL
Situasi Rapat Koordinasi POKJA AMPL di Sikka

Kamis, 22 Juli 2010

KISAH YANG TERCECER DARI KEBIJAKAN MERUBAH PRILAKU MASYARAKAT KABUPATEN SIKKA

Oleh: Maximilianus Adifan
(Fasilitator Kelembagaan POKJA AMPL Kabupaten Sikka)

Kamis, 10 Juni 2010 menjadi hari bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sikka, khususnya masyarakat Desa Gunung Sari- Kecamatan Alok dan Desa Watuliwung-Kecamatan Kangae yang berani mendeklarasikan Desanya masing-masing sebagai “Kawasan Stop BAB Di Sembarang Tempat”. Komitmen ini tertuang dalam suatu prasasti yang ditandatangi oleh Bupati Sikka, Drs. Sosimus Mitang dan Pimpinan Yayasan Dian Desa Wilayah NTT, Petrus S. Swarnam, MT yang kemudian diserahkan kepada pemerintah Desa di kedua wilayah ini pada kesempatan “Lokakarya Berbagi Pengalaman dari Hasil Kerja Sama Program Air Bersih, Sanitasi dan Pengolahan Air Minum –sekala Rumah Tangga (PAM-RT) di 6 Desa di Kabupaten Sikka” di Hotel Sylvia, salah satu hotel termegah yang terdapat di Kota Maumere, Kabupaten Sikka.
Penandatanganan prasasti disertai ritual penyerahan penghargaan kepada kedua desa yang telah berkomitmen untuk menjadi Desa contoh bagi suatu upaya merancang kawasan yang bersih dan sehat. Menurut bapak Petrus, ke dua Desa ini mendapat penghargaan bukan karena mereka telah sukses memelihara Desa mereka sebagai Desa yang tertib dalam urusan buang air besar, tetapi penghargaan ini dijadikan motivasi bagi suatu niat yang telah mulai dibangun dan akan direalisasikan dalam satu komitmen bersama dari semua warga Desa di ke dua wilayah ini. Hal ini ditegaskan pula oleh Ibu Kristina dari Yayasan Dian Desa Yogyakarta, selaku moderator diskusi yang menekankan prihal penandatanganan prasasti ini sebagai motivasi bagi perubahan prilaku. “Komitmen ini dibangun setelah melewati proses yang panjang, terutama dalam pendekatan dan sosialisasi program kepada masyarakat dua desa ini”, demikian ibu Kristina berkisah.
Namun, apakah deklarasi itu sangat penting? Sebagai suatu komitmen yang lahir dari sebuah kesadaran, hal ini memang sangat penting. Hal ini ini ditegaskan oleh dr. Damianus Wera, Wakil Bupati Sikka dalam kata sambutannya sebelum membuka secara resmi Lokakarya sehari ini. Menurut dr. Dami, masyarakat Kabupaten Sikka ini terdiri dari beberapa etnis dengan karakter dan kebiasaan masing-masing dalam urusan Buang Air Besar. Ada etnis yang mendiami wilayah kepulauan (masyarakat pinggir pantai) dan ada etnis yang mendiami wilayah pegunungan. Pada umumnya, dari semua etnis yang ada, tidak ada etnis yang luput dari kebiasaan buang air besar di sembarang tempat. Jadi BABS merupakan warisan yang terkadang dijadikan kharakter etnis. Itulah kebiasaan bukan hal yang aneh. Dari semua etnis ini, ada kelompok masyarakat yang memilih hutan dan ada juga kelompok masyarakat yang memilih wilayah pesisir sebagai tempat sebagai tempat khusus itu. Dokter dari Pulau Palue ini sempat mengisahkan pengalamannya ketika ia pernah menginap di Pulau Permaan, salah satu pulau yang terletak di sebelah Utara Kota Maumere, sebagai seorang dokter. “Masyarakat ini sangat berbeda dengan masyarakat di tempat lain. Bagi masyarakat ini, rasa malu itu timbul kalau orang melihat mukanya. Kalau kita ingin membuang air besar, mereka akan memberikan kepada kita sehelai sarung. Sarung itu dijadikan tempat khusus untuk menutup kepala ketika duduk berjejer di pinggir pantai sambil bercerita di terangi sinar rembulan. Hal ini sangat berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Bagi mereka rasa malu itu timbul kalau bagian yang tersembunyi dari organ tubuh itu dilihat orang lain. Oleh karena itu mereka mencari hutan bila ingin buang air besar.”
Lokakarya ini diselenggarakan sebagai momen yang penting untuk merunut kembali kisah yang tercecer dalam program kerja sama tiga tahunan antara Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka, Yayasan Dian Desa dan Simavi-Belanda dari tahun 2007-2010. Program Kerja sama Yayasan Dian Desa dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 2005 yang dititikberatkan pada program PAM-RT dengan teknik SODIS. Target sasarnya adalah mereka yang terbiasa mengkonsumsi air mentah atau yang dikenal oleh masyarakat lokal sebagai air hidup. Menurut Pa Petrus PAM-RT dengan teknik SODIS ini menghasilkan air minum berkualitas tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Inilah salah satu teknologi tepat guna yang bisa mengurangi penggunaan BBM dan kayu api. Caranya adalah air mentah dimasukan ke dalam botol aqua berukuran sedang lalu dijemur. Setelah air yang dipanaskan oleh sinar matahari itu sudah mencapai 50 derajat celcius ia sudah layak untuk diminum. Ukuran sederhana untuk masyarakat adalah air itu dipanaskan selama sehari atau dua hari kalau cuacanya mendung. “Teknik sederhada ini hanya memanfaatkan sinar matahari untuk mematikan kuman-kuman penyakit yang terkandung dalam air. Inilah salah satu bentuk teknologi tepat guna yang kemudian berkembang pesat pada desa dampingan Yayasan Dian Desa. Namun ia tidak bertahan lama. Menurut Pa Petrus, hal ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang hanya memanfaatkan teknologi tepat guna SODIS ini sewaktu didampingi oleh petugas. Ketika tidak ada dampingan, masyarakat kembali pada kebiasaan lama yang mengkonsumsi air hidup atau air mentah. Hal inilah menjadikan Kabupaten Sikka sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki resiko kejadian luar biasa diare yang telah menelan biaya yang banyak dalam proses penanganannya.
Setelah melakukan evaluasi terhadap program SODIS ini, tahun 2007 Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Yayasan Dian Desa kembali memfokuskan perhatian pada upaya pencegahan penyakit ini, bukan pengobatan. Hal ini diyakini sangat berat karena harus merubah prilaku atau kebiasaan masyarakat. Tindakan preventiv ini membutuhkan bantuan orang lain untuk menjadi motivator bagi perubahan prilaku masyarakat. Dalam hal ini, Yayasan Dian Desa berperan sebagai salah satu lembaga motivator bagi perubahan prilaku masyarakat Kabupaten Sikka. “Tidak ada kata mundur mundur selagi mau berusaha”, demikian Pa Petrus mengutarakan prinsipnya dalam kesempatan diskusi.
Menurut Pa Petrus, “dalam pelaksaan program, terutama ketika kosentrasi program dititikberatkan pada daerah rawan diare, terutama masyarakat pinggir pantai dan kepulauan, banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya bersentuhan langsung dengan medan yang berat. Di samping itu, perahu yang membawa petugas sangat kecil sehingga menimbulkan kecemasan ketika harus melewati laut. Tantangan lain adalah mental masyarakat yang masih tergantung pada subsidi. Hal ini bertentangan dengan program pemberdayaan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan. “Satu hal yang menjadi pilar bagi bangkitnya semangat juang adalah moto hidup tidak ada yang gratis. Hidup selalu membutuhkan perjuangan”, jelas bapak yang sudah lama meninggalkan istri dan anaknya di tanah Jawa ini untuk mengabdi di Flores-NTT. Moto ini sangat erat kaitannya dengan sistem pemberdayaan yang digunakan yakni partisipasi atau swadaya masyarakat.
Dalam kesempatan Lokakarya ini, dr. Delly Pasande, M.Kes, MMR selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka tampil sebagai pembicara pertama dengan materi berjudul “Merancang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Menuju Masyarakat Sikka Sehat 2014”. Menurut bapa yang bertubuh langsing ini, strategi nasional dalam pengangan masalah sanitasi ini selalu merujuk pada keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 852/MENKES/SK/IX/2008 yang menekankan lima pilar STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yakni STOP BABS (buang air besar sembarang tempat), CTPS (cuci tangan pake sabun), PAM RT (pengolahan air minum skala rumah tangga), pengolahan sampah dan limbah cair rumah tangga. “Prinsip dasar STBM yakni berbasis masyarakat, keberpihakan terhadap kelompok miskin, keberpihakan pada lingkungan, tanggap terhadap kebutuhan, kesetaraan jender, non subsidi dan harus berkelanjutan”, jelas orang nomor satu di Dinas Kesehatan ini.
Inilah keprihatinan dasar yang juga menjadi pokok perjuangan masyarakat seluruh Indonesia, terutama masyarakat Kabupaten Sikka. Dari sambutan Wakil Bupati Sikka dan materi yang dibawakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka pada kesempatan Lokakarya ini, ditemukan bahwa kondisi Sanitasi di Kabupaten Sikka masih sangat memprihatinkan. Salah satu contoh yang dapat kita ambil untuk memperkuat pernyataan ini dilihat dari aspek kepemilikan jamban dari keseluruhan masyarakat Kabupaten Sikka yang hanya mencapai 40 % (bdk. Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka per tahun 2009).
Pembicaraan kedua tokoh yang mewakili Pemerintah Kabupaten Sikka ini menegaskan bahwa kebijakan STBM ini sebenarnya sudah dimulai dan berbagai langkah langkah sudah dilakukan dalam upaya memotivasi perubahan prilaku masyarakat, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu dibenahi untuk meningkatkan pencapaian hasil, karena masih ada beberapa kelemahan, antara lain kurangnya koordinasi dan kerja sama baik internal, antar instansi di Pemerintahan maupun dengan berbagai pemangku kepentingan terkait sehingga masih sering terjadi tumpang tindih. Untuk mengatasi kelemahan ini diperlukan suatu upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) baik untuk leadership, managerial, advokasi dan fasilitasi – terutama untuk ruang lingkup Puskesmas yang menjadi ujung tombak kesehatan di masyarakat. Di samping itu, proses merubah paradigma pelayanan juga menjadi hal yang penting. Pelayanan pemerintah terhadap masyarakat harus berubah orientasi dari mental “proyek” kepada upaya menggiatkan “partisipasi masyarakat”. Hal ini diperlukan untuk mengaplikasikan program pembangunan masyarakat yang menekankan “methodology for partisipatory assesment”.
Dalam sesi diskusi kelompok yang melibatkan semua sanitarian yang menyebar di seluruh puskesmas di Kabupaten Sikka pada kesempatan Lokakarya ini, ditemukan kenyataan bahwa kelima pilar STBM ini sudah dilaksanakan. Hasil diskusi menunjukkan bahwa pilar Stop BABS sudah dijalankan tetapi belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sementara pilar cuci tangan pakai sabun (CTPS) juga sudah digerakan tetapi kebanyakan masih terbatas pada sekolah sekolah yang menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Sikka. Pilar ini belum menyentuh ruang lingkup rumah tangga terutama ibu-ibu. Selain itu, pilar PAM-RT lebih didominasi dengan teknik merebus dan SODIS hanya diterapkan di beberapa desa atau dusun saja. Sedangkan kedua pilar lain dari STBM ini yakni pengolahan sampah rumah tangga dan sistem pengolahan air limbah masih terbatas pada tahap sosialisi.
Disamping semua kenyataan di atas, terdapat juga beberapa kendalam dalam proses penerapan STBM di tengah masyarakat Kabupaten Sikka, yakni kurang atau tidak adanya koordinasi antar pelaku, sikap masyarakat yang hanya mau minta bantuan, keterbatasan sarana terutama air, keterbatasan SDM - dana dan yang terakir adalah kegiatan non-fisik untuk perubahan perilaku belum menjadi prioritas.
Di samping itu, ditemukan juga kebaikan dan kekurangan metodologi MPA dalam proses diskusi itu. Kebaikan dari MPA adalah bahwa seluruh lapisan masyarakat teribat aktif pada semua tahapan kegiatan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. MPA mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat dan kemauan untuk berkontribusi dan berpartisipasi aktif. Lebih dari itu, MPA mampu menggerakan masyarakat untuk memahami dan mengetahui permaslahan mereka. Sementara kekurangan dari MPA antara lain: metode ini sulit diterapkan bila berhadapan dengan masyarakat yang masih bermental “proyek”. Untuk itu diperlukan fasilitator yang handal. Proses pembangunan dengan MPA memakan banyak waktu dan tenaga.
Berkaitan dengan CLTS, diskusi kelompok juga menemukan kebaikan dan kekurangannya. Kelebihan dari CLTS ini adalah adanya swadaya murni masyarakat (tanpa subsidi), mampu menumbuhkan semangat gotong royong, masyarakat merasa memiliki, timbul kesadaran untuk meurbah perilaku dan ada kontrak kerja. Sedangkan kekurangan dari CLTS itu sendiri adalah respon dari masyarakat masih rendah, tidak semua masyarakat menepati kontrak kerja, butuh waktu yang lama untuk mencapai target, belum semua jamban yang dibuat memenuhi syarat dan kesuksesan dari program ini sangat bergantung pada kemampuan fasilitator.
Bila dilihat secara mendetail, diskusi ini telah menemukan solusi yang membutuhkan tanggapan dari semua pihak, terutama pelaku POKJA AMPL Kabupaten Sikka. Solusi yang harus dikembangkan dalam upaya mendorong perubahan prilaku masyarakat ini harus dilakukan melalui upaya peningkatan koordinasi dan kerja sama lintas sektor dan para pemangku kepentingan, perlu pendataan yang jelih terhadap kondisi 5 pilar STBM, semua program perubahan prilaku masyarakat harus terakomodir dalam Peraturan Desa yang mengikat seluruh masyarakat Desa dan perlu dilakukan monitoring dan supervisi yang berkesinambungan.
Selain itu, satu hal yang dijadikan motivasi bagi masyarakat dalam upaya mempercepat proses perubahan prilaku ini adalah melalui apresiasi atau penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Kabupaten Sikka terhadap Desa atau Dusun atau kelompok yang berhasil dalam menjalankan setiap pilar STBM itu sendiri. Salah satu contoh telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sikka dalam proses kerja sama dengan Yayasan Dian Desa Wilayah NTT, seperti yang terjadi pada hari bersejarah ini, yakni penghargaan terhadap dua Desa yang berkomitmen untuk membebaskan Desanya dari kebiasaan membuang air besar di sembarang tempat.
Masyarakat dan pemerintah di kedua Desa ini sudah memulainya dengan membangun komitmen bersama. Akankah Desa-Desa lain di Kabupaten Sikka ini mengikuti teladan ke dua Desa ini dalam membangun komitmen bersama untuk merubah prilaku masyarakat demi mewujudkan masyarakat Kabupaten Sikka yang bermartabat? Mari kita memulainya dari sekarang.

Tidak ada komentar: