Rapat Koordinasi POKJA AMPL

Rapat Koordinasi POKJA AMPL
Situasi Rapat Koordinasi POKJA AMPL di Sikka

Senin, 12 Juli 2010

MERANCANG IDEALISME PEMBENTUKAN BPABS DI KABUPATEN SIKKA

OLEH: MAXIMILIANUS ADIFAN

Worksop Organisasi Pengelola Air Minum dan Badan Pengelola Air Minum pada hari Jumat (25 Juni 2010) di Aula Hotel Gading Beach –Maumere menghadirkan pengurus OPAM pada Desa dampingan PLAN Sikka guna menukar informasi seputar proses dan sistem pengelolaan air minum di Desa masing-masing. Peserta yang hadir berasal dari empat desa dampingan PLAN Sikka, di antaranya adalah Desa Kolisia B, Desa Reroroja, Desa Parabubu, Desa Wolodhesa. Selain ke empat Desa ini, Desa Kowi (salah satu Desa Dampingan Unicef) juga turut hadir karena ia juga sedang mengagendakan proses pembentukan Badan Pengelola Air Minum di Desanya. Dalam kesempatan ini, utusan dari kelima Desa yang hadir yang terdiri dari Kepala Desa, BPD dan Pengurus inti OPAM dan BPAM diberikan waktu seluas-luasnya untuk membagikan pengalaman seputar proses, keuntungan dan tantangan yang mereka hadapi dalam mengelola air minum di Desa mereka.
Sebagai suatu momen pertukaran informasi, Worshop hari ini telah melahirkan beberapa permasalahan dalam proses pemeliharaan SAB Desa pasca pembangunan. Beberapa kendala yang dapat diangkat di sini, di antaranya adalah sitem pengelolaan yang belum maksimal, pemanfaatan air masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan air minum (belum menyentuh aspek sanitasi) dan pungutan iuran air minum yang belum dilaksanakan. Semua perangkat Desa dan Pengurus OPAM yang hadir mengisahkan kalau permasalahan ini telah berimbas pada efektifitas pemeliharaan dan perawatan sarana air minum yang sudah dibangun. Masih banyak masyarakat yang sering masah bodoh dan tidak berinisiatip untuk memperbaiki kran yang rusak, masih ada masyarakat yang mandi di kran umum, air dibiarkan mengalir begitu saja pada titik pipa atau kran yang bocor, banyak air yang tergenang di seputar tugu KU yang dibangun, dan perawatan SAB sangat tergantung pada inisiatip dari setiap individu yang merasa prihatin dengan kondisi kran yang bocor.
Lalu, apakah realitas ini harus dibiarkan? Bagaimana seharusnya kita mencari solusi terhadap masalah di atas? Untuk memacing partisipasi peserta workshop ini, Sipri Rahas selaku WASH Facillitator PLAN Sikka mengajak peserta untuk melihat lebih jauh ke arah sistem yang ada, terutama berkaitan dengan ketidaklancaran dalam membayar iuran oleh masyarakat pemanfaat SAB. “Sebenarnya kendalanya terletak pada sistem yang digunakan OPAM itu yang tidak berjalan, bukan terletak pada iuran yang tidak dibayar oleh masyarakat pengguna air”. Peryataan ini dikemukakan berkaitan dengan sharing dari Ketua OPAM Desa Wolodhesa yang mempertimbangkan ekonomi masyarakat bila harus memungut iuran air.
Berkaitan dengan kecenderungan masyarakat yang sering merusak SAB yang ada, beberapa Desa telah menerapkan kebijakan lokal seperti sumpah adat. Kebijakan ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat Wolodhesa, seperti yang tercermin dari sharing Kepala Desa Wolodhesa. “Kami menggunakan upacara “sumpah adat” yang biasa dipraktekan dalam tradisi masyarakat Lio (salah satu suku di Kabupaten Sikka) untuk menghindari kebiasaan buruk masyarakat yang sering merusak pipa atau kran air. Kebijakan ini ternyata berhasil. Masyarakat merasa takut untuk membuat ulah seperti merusakan pipa air.
Kembali kepada momen sharing, suatu kenyataan menarik, yang sempat ditentang oleh pengurus OPAM dari Desa Reroroja adalah bahwa Desa Kowi telah membangun SAB dengan sistem gravitasi sambungan rumah. Menurutnya sambungan rumah, apalagi dengan menggunakan meteran di setiap rumah itu, sangat rawan terhadap upaya pengambilalihan peran pengolahan air minum oleh PDAM. “Sistem yang paling baik untuk masyarakat Desa adalah sistem distribusi KU”, tegasnya.
Menanggapi pernyataan ini, Kepala Desa Kowi, Bapak Yohanes B. Bata menjelaskan bahwa awalnya ia tidak yakin dengan program ini. “Waktu itu saya masih menduduki posisi sebagai anggota panitia pembangunan SAB. Tetapi kenyataannya, Desa Kowi telah menikmati air minum dari SAB dengan sistem distribusi SR ini selama hampir setahun dan sampai saat ini PDAM tidak mengambilalih sistem pengolahan air minum ini,” demikian bapak yang baru berusia 25 tahun menjelaskan. Penjelasan ini diamini juga oleh Ketua Panitia Pembangunan SAB Desa Kowi, Bapak Yohanes Rasi. Menurutnya, kecemasan seperti itu memang ada sejak proses sosialisasi program pembangunan SAB di Desa Kowi. Namun setelah mendengar penjelasan dari pihak Bappeda Kabupaten Sikka sebagai pihak yang memfasilitasi program ini, kami mendapatkan jawaban bahwa kecemasan itu tidak akan terjadi selagi masyarakat Desa bisa mengelola airnya sendiri.
Dalam diskusi selanjutnya, Bapak Sipri kembali menekankan perihal peran OPAM dalam proses pengelolaan air minum yang berkejanjutan di Desa masing-masing. Menurut Sipri, pemerintah dalam hal ini PDAM tidak akan mengambil alih SAB milik desa. Hal ini berkaitan dengan orientasi pelayanan dari PDAM yang hanya menjangkau masyarakat perkotaan dan ibu kota Kecamatan. “Kalau wilayah Ibu kota Kecamatan memang masuk dalam wilayah pelayanan PDAM. Tetapi sejauh ini, wilayah pedesaan belum menjadi target PDAM”, demikian bapak yang sudah melalang buana di pelosok-pelosok Desa se Kabupaten Sikka ini menjelaskan.
Menyimak pentingnya upaya menghalau kecemasan masyarakat Desa terhadap proses pengambilalihan sistem pengelolaan SAB ini oleh PDAM, Maxi Adifan selaku fasilitator kelembagaan POKJA AMPL Kabupaten Sikka menegaskan bahwa pada prinsipnya Pemerintah Daerah tidak menghendaki realitas terburuk yang terjadi di tengah masyarakat yakni banyaknya SAB yang sudah dibangun oleh berbagai pihak tetapi tidak dipelihara oleh masyarakat pengguna itu sendiri. “Pemerintah Daerah bisa saja mengambil alih proses pemeliharaan SAB itu bila masyarakat tidak sanggup mengelola SAB milik Desanya sendiri”. Untuk menghindari pengambilalihan ini maka Pemerintah Desa bersama masyarakatnya harus membentuk Badan Pengelola Ari Minum tingkat Desanya. BPAM ini berperan sebagai pengelola SAB yang ada di Desanya. BPAM adalah wadah milik Desa. Orientasi ke depan dari BPAM ini adalah bahwa ia harus bisa menjadi badan usah milik Desa yang sanggup menghasilkan pendapatan bagi Desa bila dikelola secara baik. “Hal ini semestinya harus menjadi perhatian kita. BPAM ini berdiri sendiri dan Pemerintah Desa harus menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja kerja dari BPAM ini ketika BPAM menjadi salah satu badan usaha milik Desa. Selanjutnya, BPAM harus bergerak berdasarkan Peraturan Desa.”
Berkaitan dengan orientasi pembentukan BPAM ini, peserta Workshop menyepakati beberapa hal, di antaranya adalah perlunya upaya untuk memprogramkan kegiatan lokakarya penetapan Perdes Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi untuk masyarakat Desa yang harus dilaksanakan dalam waktu dekat yakni pada akhir bulan Agustus. Pihak yang harus diundang dalam lokakarya ini adalah Kabag Hukum dan Kabag Pemdes pada Sekretariat Daerah Kabupaten Sikka dan Desa-Desa yang sudah atau yang belum memiliki Badan Pengelola Air Minum Desa. Hal ini dilakukan supaya ada kesamaan persepsi dalam menjalankan tugas BPABS di Desa masing-masing.
Ada beberapa poin penting yang dipeloleh dari workshop sehari ini, di antaranya adalah bahwa
• Pemerintah Desa harus menjalankan fungsinya untuk mengawasi jalanya program dalam konteks kerja sama dengan Lembaga donor /LSM dan masyarakat Desa
• Kepala Desa perlu mengetahui anggaran dana yang dikeluarkan supaya bisa mengontrol setiap perkembagan pelaksanaan program dan tingkat perkembangan kelompok itu sendiri
• Badan Pengelola Air minum harus juga mencakup aspek pelayanan dan pengawasan di bidang sanitasi
• Term BPAM harus direvisi dan diganti dengan TERM Badan Pengelola Air Bersih dan Sanitasi (BPABS) sehingga ada kesinambungan program dan pelayanan di tingkat Desa
• BPABS menjalankan fungsi pemeriharaan sarana air bersih dan Sanitasi pasca pembangunan dan menjamin kualitas pelayanan di bidang air minum dan sanitasi bagi masyarakat Desa
• BPABS harus ditetapkan melalui PERDES yang mengikat secara hukum
• Iuran air harus ditagih oleh BPABS untuk perawatan Sarana lebih lanjut, dan ditetapkan dalam PERDEES
• Perlu evaluasi terhadap managemen BPABS oleh Pemerintah Desa dan masyarakat.
Apakah memang kerinduan untuk meningkatkan cakupan pelayanan di bidang Air Bersih dan Sanitasi itu akan terwujud melalui pembentukan BPABS ini? Inilah pertanyaan reflektif yang terkadang mengganggu idealisme pelayanan AMPL. Mungkin jawaban yang dapat diberikan adalah bahwa idealisme itu tidak mungkin terealisir secara sempurna. Namun idealisme tetap dan harus selalu ada, terutama sebagai sebuah langkah awal untuk menata manajemen pengelolaan SAB dan sanitasi tingkat Desa yang belum pernah terpikirkan.

Tidak ada komentar: