Rapat Koordinasi POKJA AMPL

Rapat Koordinasi POKJA AMPL
Situasi Rapat Koordinasi POKJA AMPL di Sikka

Senin, 12 Juli 2010

MENGGAULI MOTTO “MEMBANGUN MULAI DARI DESA” (Sebuah Catatan Pinggir)

Oleh: Maxi Adifan
Fasilitator Kelembagaan POKJA AMPL Kab. Sikka
Tinggal di Maumere

Tuntutan Undang-Undang Negara Republik Indonesia untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan mimpi menjadi negara makmur seharusnya telah mempengaruhi seluruh proses pembangunan pada segala bidang Pelayanan publik di Indonesia. Namun realitas menunjukan bahwa status negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak pernah beralih ke status negara maju, bahkan kecendrungan untuk menjadi negara miskin semakin menguat. Lalu mengapa demikian?
Menurut saya, salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah sistem pelayanan dan pola pembangunan yang dijalankan dalam suatu wilayah pemerintahan dari periode ke periode. Terkadang sistem pelayanan dari suatu wilayah pemerintahan ditentukan oleh siapa yang menjabat dalam suatu periode pembangunan. Ketergantungan pada subyek yang menjabat ini akan berdampak pada program yang dicanangkan. Setiap periode pemerintah selalu menghadirkan program-program spektakuler, yang terkadang menginginkan suatu program yang “tampil beda”, lain dari pada yang lain. Konsekuensi lanjutannya adalah program-program lama terpaksa harus dinegasikan. Di samping itu, pejabat yang menduduki salah satu posisi sangat dipengaruhi oleh proses mutasi dari periode ke periode. Akibat tercepat dari proses yang demikian adalah terkadang setiap program tidak dijalankan secara berkesinambungan. Setiap pejabat yang menduduki suatu posisi akan selalu meluangkan waktu untuk belajar minimal satu bulan. Hasil dari proses belajar selama satu bulan ini bisa berdampak positip, program yang sudah dicanangkan itu, bisa berjalan sesuai dengan rencana, namun bisa juga mendapatkan hasil terbalik. Program yang sudah dicanangkan dalam kurun waktu dan biaya yang tidak sedikit itu diabaikan demi suatu program yang “tampil beda”.
Apakah realitas ini dimungkinkan bagi suatu upaya mencapai kemajuan suatu daerah? Bagi saya, kemungkinan untuk mencapai kemajuan bisa terjadi. Namun bisa juga tidak. Hal ini terjadi karena semua pelaku pembangunan terkadang menghabiskan waktu, tenaga dan anggaran biaya untuk merancang program-program.
Saya sendiri merasa tertarik dengan motto dari pimpinan wilayah Kabupaten Sikka yang sedang menjabat saati ini. Dalam konsep pembangunannya, Bupati dan Wakil Bupati Sikka sebagai satu paket pasangan mengambil motto “membangun mulai dari Desa”. Motto ini secara jelas mengindikasikan suatu proses pembangunan yang selama ini berjalan yakni pembangunan yang dikosentrasikan atau dimulai dari kawasan perkotaan. Efeknya adalah bahwa masyarakat Desa hanya mendapat imbas dari suatu proses pembangunan itu. Masyarakat Desa bisa dibangun bila kawasan perkotaan sudah maju. Lalu, seperti apa sebenarnya proses pembangunan mulai dari desa itu?
Ketika saya merenungkan indikasi makna yang terkandung dari motto ini, terlintas dalam benak saya suatu pemahaman sederhana. Pemahaman ini terlepas dari konfirmasi dengan pihak yang memproklamirkan motto ini. Menurut saya, proses pembangunan mulai dari Desa itu sebenarnya suatu proses pembangunan yang menempatkan masyarakat Desa sebagai target pelayanan dan subyek atau pembangunan. Ketika menempatkan masyarakat Desa sebagai target pelayanan maka semua kosentrasi pembangunan itu adalah pembangunan masyarakat Desa. Jadi setiap Desa wajib mengusulkan programnya yang tertuang dalam musrenbang tingkat kecamatan, untuk diusulkan ke musrenbang Kabupaten, dst. Bila hal ini yang dilakukan, maka realitas yang terjadi adalah bahwa program-program ini akan selalu melampaui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Program yang melampaui APBD ini melahirkan kondisi defisit anggaran tahunan suatu daerah pemerintahan. Hal ini sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Ini konsekuensi terberat dari suatu proses pembangunan.
Terlepas dari realitas defisitnya anggaran tahunan, membangun mulai dari Desa selalu menegaskan prinsip bahwa tolok ukur kemajuan suatu daerah harus dilihat dari kemajuan sebuah proses pelayanan terhadap masyarakat Desa. Misalnya dalam proses mengukur kemajuan masyarakat Kabupaten Sikka. Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Kabupaten Sikka sudah sejahtera kalau banyak masyarakat Desa yang masih menggunakan lampu pelita untuk penerangan di malam hari? Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Sikka sejahtera kalau banyak masyarakat Desa yang harus mengambil air minum dalam jarak 1-5 km setiap hari? Bagaimana kita bisa mengatakan masyarakat Sikka sejahtera kalau masih banyak daerah di Kabupaten Sikka yang menjadi daerah rawan kejadian luar biasa Diare setiap tahun?
Membangun mulai dari Desa tidak berarti mengabaikan masyarakat Kota. Kemajuan pembangunan bagi masyarakat Desa sebenarnya akan mempengaruhi kemajuan pembangunan bagi masyarakat Kota. Karena sistem pergerakan ekonomi selalu berjalan lancar dengan kosentrasi alur transportasi menuju Ibukota Kabupaten. Jadi di sini kita dapat mengatakan bahwa seharusnya kemajuan Ibukota Kabupaten harus menjadi efek dari kemajuan wilayah pedesaan, bukan sebaliknya. Inilah yang mesti dipikirkan dan menjadi perhatian ke depan.
Dalam konteks konteks keberadaan masyarakat Desa sebagai subyek kita dapat melihat bahwa di sini kita sudah semestinya menjadikan masyarakat sebagai pelaku pembangunan itu sendiri. Masyarakat harus membangun Desanya dengan seluruh kemampuan yang ada. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pemerintah Daerah atau pihak luar Desa hanya berfungsi sebagai motivator, fasilitator dan perangsang /pemicu pembangunan. Peran sebagai motivator dijalankan dengan memberi motivasi kepada masyarakat Desa agar secara gotong-royong membangun Desanya. Sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah bisa memfalitasi pelatihan bagi tenaga teknis lokal dan sekaligus menfasilitasi kerja sama masyarakat Desa dengan lembaga donor atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Perangsang/pemicu menempatkan posisi pemerintah Daerah sebagai perangsang atau pemicu pembangunan di Desa-Desa.
Jadi dalam proses “membangun mulai dari Desa” dengan menitikberatkan masyarakat Desa sebagai target dan subyek pelayanan telah merubah paradigma pembangunan demi pelayanan terhadap masyarakat Sikka. Pergeseran paradigma ini seharusnya dititikberatkan pada pola pemberdayaan masyarakat Desa bukan pola proyek. Kosentrasi program pada pola pemberdayaan memungkinkan kita untuk menempatkan masyarakat Desa sebagai subyek yang diberdayakan, bukan subyek yang “diproyekan”. Hal ini mungkin sudah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagi program pembangunan yang selama ini sudah dilaksanakan, seperti PNPM Mandiri, Pamsimas dan program P2KP untuk wilayah perkotaan. Namun dari sekian program yang dijalankan, perubahan prilaku masyarakat belum menunjukkan angka yang signifikan. Lalu kesalahannya terletak di mana? Untuk menjawab pertanyaan ini saya sendiri juga belum bisa menjawab, di mana letak kesalahan dalam proses membangun bangsa atau daerah kita ini.
Salah satu faktor penghambat yang mungkin bisa diraba-raba berkaitan dengan mandeknya proses pembangunan masyarakat Desa ini adalah peran sosialisasi. Mental masyarakat Desa sulit untuk bergeser dari mental “proyek”. Masyarakat Desa telah terlena dengan sekian banyak proyek yang masuk ke Desa. Masyarakat hanya menghendaki supaya mereka menikmati hasil dari proses pembangunan tanpa campur tangan dalam proses pembangunan itu sendiri. Misalnya setelah proyek selesai mereka menggunakan sarana yang ada. Tetapi kalau sarana yang ada mengalami kerusakan dalam proses pemanfaatannya, program baru dirancang untuk mengalokasikan lagi dana untuk proyek rehap sarana yang ada.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemberdayaan. Pemberdayaan melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan. Masyarakat sebagai subyek pembangunan harus bisa merasa memiliki “sense of belonging” terhadap suatu program pembangunan yang sedang dijalankan. Sistem yang digunakan adalah setengah dari taksasi anggaran pembangunan dibebankan pada masyarakat, berupa pengadaan bahan lokal seperti batu, pasir, tenaga angkut, dll. Di sini masyarakat sungguh-sungguh terlibat dalam suatu proses pembangunan, bukan sebagai penonton dan pemanfaat. Keterlibatan masyarakat memungkinkan mereka untuk merasa bahwa masyarakat Desa itu sendiri mengeluarkan keringat untuk merealisasikan pembangunan itu sendiri. Sehingga rasa bertanggungjawab terhadap sarana yang telah dibangun itu selalu tertanam dalam diri masyarakat itu sendiri.
Selain keterlibatan dalam proses pembangunan, pemberdayaan ini berdampak pada proses keterlibatan dalam proses pemeliharaan sarana dan prasaran yang dibangun. Keterlibatan dalam proses pemeliharaan pasca pembangunan ini yang seharusnya menjadi orientasi dasar dari suatu proses pembangunan. Rasa memiliki akan timbul pada tahap pemeliharaan ini. Bukan pada tahap membangun.
Dengan demikian proses “membangun mulai dari Desa” juga mengindikasikan suatu proses pembanguan manusia, bukan benda mati. Pembangunan manusia pada akhirnya harus berdampak pada perubahan prilaku. Prilaku harus bergeser dari kebiasaan menonton setiap proyek pembangunan menuju kebiasaan melibatkan diri dalam suatu proses pembangunan. Prilaku harus bergeser dari mental merusak sarana dan prasarana yang sudah dibangun kepada prilaku merawat atau memelihara sarana yang sudah dibangun yang didasarkan pada rasa memiliki sarana yang ada setelah berjuang dengan tetesan keringat untuk membangunnya.

Tidak ada komentar: